IKHA RAGAZZA SAGIO

ikha ragazza sagio

Jumat, 04 Januari 2013

PARTAI POLITIK


2.1       Makna Partai Politik
Partai politik dalam era modern dimaknai sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuannya adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka (Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia). Dilihat dari pengertian tersebut, ada beberapa unsur penting yang ada dalam partai politik, yaitu: orang-orang, ikatan antara mereka hingga terorganisir menjadi satu kesatuan, serta orientasi, nilai, cita-cita, tujuan dan kebijaksanaan yang sama.
Sebuah partai politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. Definisi lainnya adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik - (biasanya) dengan cara konstitusionil - untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka. [1][2]
Partai politik adalah sarana politik yang menjembatani elit-elit politik dalam upaya mencapai kekuasaan politik dalam suatu negara yang bercirikan mandiri dalam hal finansial, memiliki platform atau haluan politik tersendiri, mengusung kepentingan-kepentingan kelompok dalam urusan politik, dan turut menyumbang political development sebagai suprastruktur politik.
Dalam rangka memahami Partai Politik sebagai salah satu komponen Infra Struktur Politik dalam negara, berikut beberapa pengertian mengenai Partai Politik, yakni :
1.      Carl J. Friedrich: Partai Politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasan pemerintah bagi pemimpin Partainya, dan berdasarkan penguasan ini memberikan kepada anggota Partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materil.
2.      R.H. Soltou: Partai Politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyaknya terorganisir, yang bertindak sebagai satukesatuan politik, yang dengan memanfaatkan kekuasan memilih, bertujuan menguasai pemerintah dan melaksanakan kebijakan umum mereka.
3.      Sigmund Neumann: Partai Politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis Politik yang berusaha untuk menguasai kekuasan pemerintah serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan melawan golongan-golongan lain yang tidak sepaham.
4.      Miriam Budiardjo: Partai Politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.


2.2       Fungsi Partai Politik

Mariam Budiarjo dalam buku tersebut di atas, mengidentifikasi ada beberapa macam fungsi dari partai politik , yaitu :

1.      Partai politik sebagai sarana komunikasi politik. Dalam menjalankan fungsi ini, Partai politik menghimpun berbagai masukan ,ide dari berbagai lapisan masyarakat. Asfirasi ini kemudian digabungkan. Proses penggabungan ini sering disebut sebagai “penggabungan kepentingan” (intres aggregation). Setelah berbegai gagasan, ide , kepentingan tersebut digabungkan , selanjutnya berebagai kepentingan tersebut disusun dan rumuskan secarat sistematik dan teratur, proses ini sering disebut dengan perumusan kepentingan (articulation Intrest). Rumusan tersebut kemudian di jadikan propram partai yang akan di perjuangkan dan disampaikan kepada pemerintah untuk dijadikan suatu kebijakan umum. Selain komunikasi yang demikian, partai politik juga berperan sebagai wadah untuk menyebarluaskan kebijakan pemerintah dan mendiskusikannya. Dengan demikian terjadi dialog baik dari bawah keatas maupun dari atas kebawah. Peran yang demikian , menempatkan partai politik sebagai perantara atau penghubung antara masyarakat dengan pemerintah dalam suatu ide-ide atau gagasan gagasan.
2.      Partai politik berfungsi sebagai sarana sosialisasi politik. Dalam ilmu politik sosialisasi politik diartikan sebagai sebagai proses dimana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap phenomena politik yang umumnya berlaku dalam masyrakat dimana ia berada. Biasanya proses sosialisasi berjalan secara berangsur-angsur dari masa kecil hingga ia dewasa. Disamping itu sosialisasi politik juga mencakup proses melalui mana masyarakat menyampaikan norma-norma dan nialai-nilai adri satu generasi ke generasi berikutunya. Dalam hubungan ini partai politik berfungsi sebagai salah satu sarana sosialisasi politik . Dalam usaha menguasai pemerintahan melalui kemenangan pemilu, parati memerlukan dukungan massa. Untuk itu partai menciptalan “imege” bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Disamping menenmkan solidaritas dengan partai , partai politik juga mendidik anggotanya menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai warganegara dan menempatkan kepentingan sendiri dibawah kepentingan nasional . Di negara-negara baru, partai politik juga berperan untuk memupuk identitas nasional dan itegritas nasional. Proses sosialisasi politik diselenggarakan melalui ceramah-ceramah, penerangan, kursus kader dan lainnya.
3.      Partai Politik sebagai sarana recriutment politik Partai politik juga berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai . Dengan demikian partai turut memperluas memperluas partisifasi politik . Caranya ialah melalui kontak pribadi , persuasi dsn lain-lain. Juga di usahakan untuk menarik golongan muda untuk didik menjadi kader partai yang dimasa mendatang menggantikan pimpinan lama.
4.      Partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Dalam suasana demokratis , persaingan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat adalah maslah yang wajar , jika terjadi konflik , partai politik berusaha mengatasinya. Fungsi partai politik secara normatif dirumusakan dalam Undang-undang nomor 2 tahun 1999 sebagai berikut : ¨ Partai politik berfungsi : ¨ Melaksanakan pendidikan politik dengan menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran atas hak dan kewajiban politik rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; ¨ Menyerap,menyalurkan dan memperjuangkan kepentingan masyarakat dalam pembuatan kebijaksanaan negara melalui mekanisme badan-badan permusyawaratan / perwakilan rakyat; ¨ Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mengisi jabatan-jabatan politik sesuai dengan mekanisme demokrasi.

2.3       Cara Mencegah Skandal Partai Politik
Untuk menyelesaikan skandal parpol, penegakan hukum oleh Kejaksaan
harus didorong agar prosesnya berjalan dengan cepat. Proses penegakan hukum berjalan lambat karena koordinasi Kejaksaan dan Kepolisian tidak mulus. Lambannya Kejaksaan dan Kepolisian yang berada di bawah Presiden harus dibaca sebagai sikap menunggu “instruksi” Presiden. Prosesnya kemudian menjadi semakin lambat karena “intruksi” itu  tidak kunjung turun  sebelum kompromi politik terselesaikan.  Padahal hukum seharusnya berjalan lebih cepat agar bisa memberikan kepastian hukum
dan keadilan, bukan malah menunggu kesepakatan di antara elit politik.
Tugas penting  DPR setelah Pansus adalah memastikan proses hukum
berjalan dengan kredibel dan independen. Titik kritis penegakan hukum
terutama pada  institusi Kejaksaan dan Kepolisian yang berada di bawah
Presiden dan selama ini kinerjanya belum memuaskan.
Kredibilitas dalam penegakan hukum juga penting karena ada kemungkinan kompromi politik untuk  mengintervensi proses hukum. Terutama karena banyak anggota DPR dan pimpinan partai politik juga  tersangkut persoalan hukum. Persoalan pajak grup Bakrie, aliran dana Century kepada anggota DPR dan berbagai pelanggaran hukum lain harus diselesaikan dengan tuntas.

2.4       Penyelesaian Masalah Dari Sudut Pandang Penulis
Salah siapa bila kita tak lagi percaya pada partai politik? Bukankah dulu harapan pernah tertancap pada para politisi muda, tapi nyatanya mereka kini menjadi generasi baru koruptor di Indonesia. Mengutip kalimat Mustofa Bisri: Mereka yang kemarin giat mengingatkan yang lupa, sudah mulai banyak yang lupa. Orang yang dulu tegak memperjuangkan kepentingan rakyat, berubah drastis manakala terlibat dalam politik praktis. Tak heran, jika hasil survei sebuah lembaga penelitian pun menunjukkan kurang dari 30 % saja masyarakat yang menilai baik kinerja partai politik. Barang kali ini bukan tamparan. Karena antipatinya, masyarakat sudah tidak peduli lagi, apalagi mendekat untuk menamparnya. Partai politik semata penyalur aspirasi yang sia-sia.
Mengacu pada Carl Friendrich pembentukan partai politik memiliki tujuan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Dalam sistem demokrasi, cara yang digunakan untuk meraih atau mempertahan kekuasaan, yakni dengan turut serta dalam pemilihan umum. Sebelum terjun sebagai kontestan dalam pemilu, partai politik melakukan rekrutmen yang di dalamnya ada seleksi dan pengangkatan satu atau sekelompok orang untuk melaksanakan peran strategis. Setelah itu, partai politik melakukan pembinaan dan edukasi internal dalam rangka mencapai sasaran, yakni melanggengkan ideologi dan kekuasaan. Selain melaksanakan fungsi internal, terhadap masyarakat luas partai politik memiliki tanggung jawab konstitusional dan moral dan etika untuk membawa masyarakat pada kondisi kehidupan yang lebih baik (Firmanzah, 2007). Dengan demikian, kehadiran partai politik diharapkan memberi berkontribusi pada penyelesaian masalah-masalah yang tengah dihadapi publik.
Partai politik sebagai penjaga tanggung jawab etika sekaligus pionir bagi perubahan yang lebih baik pada praktiknya kerap mengecewakan. Terkuaknya skandal dugaan korupsi partai politik bukti ironis bagaimana partai politik yang seharusnya ideal bagi upaya edukasi etika politik ternyata malah berubah menjadi sejenis tengkulak kekuasaan. Elite dan partai politik yang diharapkan menunjukkan tanggung jawab politik yang luhur, dalam aktivitasnya malah menunjukkan mentalitas politisi kelas rendah. Retorika tentang supremasi hukum sebagai benteng terakhir keadilan, pada implementasinya lebih banyak menimbulkan rasa frustasi dan sinis masyarakat.
Bila kita lihat apa yang dapat dilakukan partai politik dalam memengaruhi kebijakan publik, sebenarnya sangat wajar kalau harapan yang diberikan masyarakat pada partai politik sangat besar. Sayangnya, apa yang kita saksikan saat ini keberadaan partai-partai politik masih jauh dari perannya sebagai pelayan kebutuhan masyarakat secara luas. Tidaklah heran, jika muncul sejenis hasrat untuk membuat terobosan dan inovasi yang lebih kreatif dalam meramaikan sinetron perpolitikan di negeri ini. Salah satunya dengan munculnya calon independen dalam proses perebutan kekuasaan. Akankah keberadaan calon perorangan tersebut mampu mencairkan kebekuan hati masyarakat yang terlanjur tidak percaya?




A.    Konsep Konsep Komunikasi

Menurut pendapat Effendy (2000:13) ” Komunikasi adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang-lambang yang bermakna bagi kedua pihak, dalam situasi yang tertentu komunikasi menggunakan media tertentu untuk merubah sikap atau tingkah laku seorang atau sejumlah orang sehingga ada efek tertentu yang diharapkan. Menurut Handoko (2002:30) ” Komunikasi adalah proses pemindahan pengertian dalam bentuk gagasan, informasi dari seseorang ke orang lain ”. Robbins (2002:310) mengemukakan ” Tidak ada kelmpok yang dapat eksis tanpa komunikasi : pentransferan makna diantara anggota-anggotanya. Hnaya lewat pentransferan makna dari satu orang ke orang lain informasi dan gagasan dapat dihantarkan. Tetapi komunikasi itu lebih dari sekedar menanamkan makna tetapi juga harus dipahami ”. ( Jurnal Manajemen, 09 Desember 2007 )

Puskesmas sebagai suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang berada digaris terdepan dibidang kesehatan masyarakat, juga tidak luput dari pentingnya komunikasi. Pimpinan Puskesmas selaku pimpinan bertanggung jawab lansung terhadap berfungsinya komunikasi secara kondusif antara dirinya selaku komunikator dengan para staf administrasi selaku komunikan, “ yang menjadi persoalan sebenarnya bukan apakah manajer berkomunikasi atau tidak, karena komunikasi merupakan bagian dari fungsi organisasi. Persoalan sebebenarnya adalah apakah manajer dapat berkomunikasi dengan baik atau tidak. Dengan kata lain, komunikasi sendiri tidak dapat dielakkan dalam setiap fungsi organisasi ; tetapi komunikasi itu mungkin tidak efektif. Setiap manajer harus menjadi seorang komunikator “. (Gibson, Ivancevich, Donelly , 1994 : 105).

Selanjutnya menurut Permata Wulandari (2007) mengatakan bahwa ” peran pimpinan dalam peningkatan komunikasi pada sebauah organisasi membutuhkan tiga hal : pertama, semua pemaian harus memeiliki kemampuan yang tepat dan mengerti komunikasi yang baik. Komunikasi bukanlah proses yang indah dan banyak orang membutuhkan pengertian yang mendalam mengenai issue komunikasi. Kedua, komunikasi organisasi yang efektif membutuhkan iklim atau budaya yang mendukung komunikasi yang efektif. Lebih spesifik iklim ini akan membutuhkan kejujuran, keterbukaan, praktik komunikasiyang baik dan tanggung jawab untuk membuat komunikasi lebih efektif. Ketiga, komunikasi yang efektif membutuhkan perhatian. Hal ini bukanlah sesuatu yang lansung terjadi tetapi dikembangkan sebagai hasil usaha staf dan jajaran manajemen ”. Oleh Karena itu pimpinan Puskesmas dan para staf administrasi harus tahu betul tentang konsep komunikasi itu sendiri agar nantinya didalam menjalankan aktivitas organisasinya dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan yang diharapkan, “ secara umum komunikasi dapat disebut sebagai proses pengiriman dan penerimaan pesan atau berita (informasi) antara dua orang atau lebih dengan cara yang efektif, sehingga pesan dimaksud dapat dipahami “. Atep Adya Barata ( 2003:54).

Menurut Miftah Thoha (1990:163) “ komunikasi adalah suatu proses penyampaian dan penerimaan berita atau informasi dari seseorang keorang lain. Suatu komunikasi yang tepat tidak bakal terjadi, kalau tidak penyampai berita tadi menyampaikan secara patut dan penerima berita menerimanya tidak dalam bentuk distorsi “.

Selanjutnya menurut I.B. Mantra (1990:2) mengemukakan pengertian komunikasi sebagai berikut:

Istilah komunikasi berasal dari kata Latin “Communicare” atau “ Communis” yang berarti menjadikan milik bersama. Kalau kita berkomunikasi dengan orang lain, berarti kita berusaha agar apa yang kita samapaikan kepada orang lain tersebut juga menjadi miliknya. Artinya, agar mengerti ide, informasi atau pengalaman orang lin tersebut (Menurut Wilbur Schramm).
Komunikasi adalah kegiatan pengoperan lambing yang mengandung arti/makna yang perlu dipahami bersama oleh pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kegiatan komunikasi (Menurut William Albig).
Komunikasi merupakan suatu proses dimana yang terlibat, menciptakan dan berbagi informasi satu sama lain untuk mencapai saling pengertian ( Everett M. Rogers).

Bersesuaian pendapat-pendapat di atas Arni Muhammad (2005: 4-5) mengemukakan bahwa :

Komunikasi adalah pertukaran pesan verbal maupun nonverbal antara si pengirim dengan di penerima pesan untuk mengubah tingkah laku. Si pengirim pesan dapat berupa seorang individu, kelompok, atau organisasi. Begitu juga halnya denga si penerima pesan dapat berupa seorang anggota organisasi, seorang kepala bagian, pimpinan, kelompok orang dalam organisasi, atau orgnisasi secara keseluruhan. Istilah proses maksudnya bahwa komunikasi itu berlansung melalui tahap-tahap tertentu secara terus menerus, berubah-ubah, dan tidak henti-hentinya. Proses komunikasi merupakan proses yang timbal balik karean antara si pengirim dan si penerima saling mempengaruhi satu sama lain. Perubahan tingkah laku maksudnya dalam pengertian yang luas yaitu perubahan yang terjadi didalam diri individu mungkin dalam aspek kogniti, afektif atau psikomotor.

Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan diatas jelaslah bahwa pesan yang disampaikan oleh pimpinan selaku komunikator kepada para staf selaku komunikan tidak lain tujuannya adalah sebagai upaya untuk merubah pemikiran, sikap dan prilaku para staf agar mau melakukan pekerjaan organisasi sebagaimana mestinya melalui komunikasi yang diciptakan oleh pimpinan.

B.     Definisi Komunikasi
Bermacam-macam definisi komunikasi yang dikemukakan orang untukk memberikan batasan terhadap apa yang dimaksud dengan komunikasi, sesuai dari sudut mana mereka memandangnya. Tentu saja masing-masing definisi tersebut ada benarnya dan tidak salah karena disesuaikan dengan bidang dan tujuan mereka masing-masing. Berikut ini disajikan beberapa dari definisi tersebut untuk melihat keanekaragaman yang berguna untuk menarik pengertian yang umum dari komunikasi.
1.      Everett M. Rogers, Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.
2.      Rogers & D. Lawrence Kincaid, 1981, Komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam.
3.      Shannon & Weaver, 1949, Komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya, sengaja atau tidak sengaja. Tidak terbatas pada bentuk komunikasi menggunakan bahasa verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni, dan teknologi.
4.      David K. Berlo, 1965 Ilmu pengantar komunikasi Komunikasi sebagai instrumen dari interaksi sosial berguna untuk mengetahui dan memprediksi setiap orang lain, juga untuk mengetahui keberadaan diri sendiri dalam memciptakan keseimbangan dengan masyarakat.
5.      Harorl D. Lasswell, 1960. Komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan siapa, mengatakan apa, dengan saluran apa, kepada siapa? Dengan akibat apa atau hasil apa? (Who? Says what? In which channel? To whom? With what effect?)
6.      Steven, Komunikasi Juga dapat terjadi kapan saja suatu organisme memberi reaksi terhadap suatu objek atau stimuli. Apakah itu berasal dari seseorang atau lingkungan sekitarnya.
7.      Raymond S. Ross, Komunikasi adalah suatu proses menyortir, memilih dan mengirimkan simbol-simbol sedemikian rupa sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serupa dengan yang dimaksudkan komunikator.
8.      Menurut Prof. Dr. Alo Liliweri, Komunikasi adalah pengalihan suatu pesan dari satu sumber kepada penerima agar dapat dipahami.
9.      Menurut John R. Wenburg dan William W Wilmot, Komunikasi adalah suatu usaha untuk memperoleh makna.
10.  Menurut Carl I.Hovland, komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan rangsangan untuk mengubah perilaku orang lain.
11.  Judy C pearson & Paul E melson, Komunikasi adalah Proses memahami dan berbagi makna.
12.  Stewart L. Tubbs & Sylvia Moss, Komunikasi adalah proses makna diantara dua orang atau lebih.
13.  Menurut William I. Gordon, Komunikasi secara ringkas dapat didefinisikan sebagai suatu transaksi dinamis yang melibatkan gagasan dan perasaan.
14.  Menurut M. Djenamar. SH, Komunikasi adalah seni untuk menyampaikan informasi, ide-ide, seseorang kepada orang lain.
15.  Menurut William Albig, komunikasi adalah proses pengoperan lambang yang berarti diantara individu-individu.
16.  Menurut Prof. Dr. Alo Liliweri, Komunikasi adalah pengalihan suatu pesan dari satu sumber kepada penerima agar dapat dipahami.
17.  Menurut Anwar arifin (1988:17), komunikasi merupakan suatu konsep yang multi makna. Makna komunikasi dapat dibedakan berdasarkan Komunikasi sebagai proses sosial Komunikasi pada makna ini ada dalam konteks ilmu sosial. Dimana para ahli ilmu sosial melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan komunikasi yang secara umum menfokuskan pada kegiatan manusia dan kaitan pesan dengan perilaku.
18.  Markman, 1981 : Murphy & Mendelson. 1973 : Komunikasi merupakan suatu komunikaso untuk membangun & mempertahankan hubungan interpersonal.
19.  Aristoteles (ruben, 2002:21) komunikasi adalah alat dimana warga masyarakat dapatberpartisipasi dalam demokrasi
20.  Drs. Redi Panuju, Msi (2001:1) Komunikasi merupakan sistem aliran yang menghubungkan dan kinerja antar bagian dalam organisasi sehingga menghasilkan suatu sinergi.
21.  Hoben , Simbol/verbal/ujaran, komunikasi adalah pertukaran pikiran atau gagasan secara verbal.
22.  Anderson, Komunikasi merupakan proses yang dinamis dan secara konstan berubah sesuai dengan situasi yang berlaku.
23.  Barnlund, 1964, Komunikasi timbul didorong oleh kebutuhan-kebutuhan untuk mengurangi rasa ketidakpastian, bertindak secara efektif, mempertahankan atau memperkuat ego.
24.  Menurut lexicographer (ahli kamus bahasa), komunikasi adalah upaya yang bertujuan berbagi untuk mencapai kebersamaan. Jika dua orang berkomunikasi maka pemahaman yang sama terhadap pesan yang saling dipertukarkan adalah tujuan yang diinginkan oleh keduanya.
25.  Webster’s New Collegiate Dictionary edisi tahun 1977 antara lain menjelaskan bahwa komunikasi adalah suatu proses pertukaran informasi diantara individu melalui sistem lambang-lambang, tanda-tanda atau tingkah laku.
26.  Komunikasi adalah suatu proses melalui mana seseorang (komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya dalam bentuk kata-kata) dengan tujuan mengubah atau membentuk perilaku orang-orang lainnya (khalayak). Hovland, Janis & Kelley:1953
27.  Komunikasi adalah suatu proses yang membuat sesuatu dari yang semula dimiliki oleh seseorang (monopoli seseorang) menjadi dimiliki oleh dua orang atau lebih. Gode, 1959
28.  Komunikasi adalah suatu proses yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lainnya dalam kehidupan. Ruesch, 1957
29.  Komunikasi adalah seluruh prosedur melalui mana pikiran seseorang dapat mempengaruhi pikiran orang lainnya. Weaver, 1949
30.  Achmad S. Ruky, Sukses sebagai manajer Profesional tanpa gelar MM atau MBA - Komunikasi adalah proses pemindahan dan pertukaran pesan yang dapat berbentuk fakta, gagasan, perasaan, data atau informasi dari seseorang kpd org lain, utk mempengaruhi dan/atau mengubah informasi dan tingkah laku orang yang menerima pesan.
31.  Atep Aditya Barata, dasar-dasar pelayanan prima adalah poses pengiriman dan penerimaan pesan atau berita (informasi) antara 2 orang atau lebih dengan cara yang efektif, sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami.
32.  DRS. Agus M. Hardjana, M.Sc., ED KOMUNIKASI INTERPERSONAL DAN INTRAPERSONAL, Komunikasi dapat dirumuskan sebagai kegiatan dimana seseorang menyampaikan pesan dari media tertentu kepada orang lain dan sesudah menerima pesan serta memahami sejauh kemampuan, penerimaan pesan menyampaikan tanggapan melalui media tertyentu pula kepada orang yang menyampaukan pesan itu kepadanya.
33.  Sindu mulianto, Panduan Lengkap supervisi Perspektif Syariah Komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh pengirim kepada penerima pesan melalui cara dan media tertentu.
34.  Wuryanano, Super Mind for Successful Life, Komunikasi adalah melibatkan keseluruhan pribadi anda, cara berbicara, sikap anda, tingkah laku anda, dan segala sesuatu yag terpancar dari pribadi anda.
35.  Definisi Hovland, Janis dan Kelley
Hovland, Janis dan Kalley seperti yang dikemukakan oleh Forsdale (1981) adalah sosiologi Amerika, mengatakan bahwa, “communication is the process by which an individual transmits stimuli (usually verbal) to modify the behavior of other individuals”. Dengan kata-kata lain komunikasi adalah proses individu mengirim stimulus yang biasanya dalam bentuk verbal untuk mengubah tingkah laku orang lain. Pada definisi ini, mereka menganggap komunikasi sebagai suatu proses, bukan sebagai suatu hal.
36.  Definisi Forsdale
Menurut Louis Forsdale (1981), ahli komunikasi dan pendidikan, “communication is the process by which a system is estabilished, maintained and altered by means of shared signals that operate according to rules”. Komunikasi adalah suatu proses memberikan signal menurut aturan tertentu, sehingga dengan cara ini suatu system dapat didirikan, dipelihara dan diubah. Pada definisi ini komunikasi juga dipandang sebagai suatu proses. Kata signal maksudnya adalah signal yang berupa verbal dan nonverbal yang mempunyai aturan tertentu. Dengan adanya aturan ini menjadikan orang yang menerima signal yang telah mengetahui aturannya akan dapat memahami maksud dari signal yang diterimanya. Misalnya setiap bahasa mempunyai aturan tertentu baik bahasa lisan, bahasa tulisan maupun bahasa isyarat. Bila orang yang mengirim signal menggunakan bahasa yang sama dengan orang yang menerima, maka si penerima akan dapat memahami maksud dari aignal tersebut, tetapi kalau tidak mungkin dia tidak dapat memahami maksudnya.
37.  Definisi Brent D. Rubben
Brent D. Rubben memberikan definisi mengenai komunikasi manusia yang lebih komprehensif sebagai berikut : Komunikasi manusia adalah suatu proses melalui mana individu dalam hubungannya, dalam kelompok, dalam organisasi dan dalam masyarakat menciptakan, mengirimkan, dan menggunakan informasi untuk mengkoordinasi lingkungannya dan orang lain.
Pada definisi inipun komunikasi juga dikatakan sebagai suatu proses yaitu suatu aktivitas yang mempunyai beberapa tahap yang terpisah satu sama lain tetapi berhubungan. Misalnya kalau kita ingin berpidato di depan umum, sebelum berpidato tersebut kita telah melakukan serentetan sub-aktivitas seperti membuat perencanaan, menentukan tema pidato, mengumpulkan bahan, melatih diri di rumah, baru kemudian tampil berpidato di depan umum.
Istilah pemakaian informasi menunujuk kepada peranan informasi dalam mempengaruhi tingkah laku manusia baik secara individual, kelompok, maupun masyarakat. Jadi jelas bahwa tujuan komunikasi menurut Ruben ini adalah untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain.
38.  Definisi William J. Seller
Seiler (1998) memberikan definisi komunikasi lebih bersifat universal. Dia mengatakan komunikasi adalah proses dengan mana symbol verbal dan nonverbal dikirimkan, diterima, dan diberi arti.
Kelihatannya dari definisi ini proses komunikasi sangat sederhana, yaitu mengirim dan menerima pesan, tetapi sesungguhnya komunikasi adalah suatu fenomena yang kompleks yang sulit dipahami tanpa mengetahui prinsip dan komponen yang penting dari komunikasi tersebut.
39.  Definisi yang Dipakai Dalam Buku Ini
Berdasarkan prinsip umum dari definisi di atas dan berdasarkan bahwa pengertian komunikasi ini akan digunakan untuk memahami komunikasi organisasi, maka penulis berusaha menyusun definisi sendiri sebagai berikut : komunikasi adalah pertukaran pesan verbal maupun nonverbal antara si pengirim dengan si penerima pesan untuk mengubah tingkah laku.
Si pengirim pesan dapat berupa seorang individu, kelompok atau organisasi. Begitu juga halnya dengan si penerima pesan dapat berupa seorang anggota organisasi, seorang kepala bagian,pimpinan, kelompok orang dalam organisasi, atau organisasi secara keseluruhan.
C.    Perspektif dalam Komunikasi
Teori-teori awal yang dianggap mampu menjelaskan perilaku seseorang, difokuskan pada dua kemungkinan (1) perilaku diperoleh dari keturunan dalam bentuk instink-instink biologis – lalu dikenal dengan penjelasan “nature” – dan (2) perilaku bukan diturunkan melainkan diperoleh dari hasil pengalaman selama kehidupan mereka – dikenal dengan penjelasan “nurture”. Penjelasan “nature” dirumuskan oleh ilmuwan Inggris Charles Darwin pada abad kesembilan belas di mana dalam teorinya dikemukakan bahwa semua perilaku manusia merupakan serangkaian instink yang diperlukan agar bisa bertahan hidup. Mc Dougal sebagai seorang psikolog cenderung percaya bahwa seluruh perilaku sosial manusia didasarkan pada pandangan ini (instinktif).
Namun banyak analis sosial yang tidak percaya bahwa instink merupakan sumber perilaku sosial. Misalnya William James, seorang psikolog percaya bahwa walau instink merupakan hal yang mempengaruhi perilaku sosial, namun penjelasan utama cenderung ke arah kebiasaan – yaitu pola perilaku yang diperoleh melalui pengulangan sepanjang kehidupan seseorang. Hal ini memunculkan “nurture explanation”. Tokoh lain yang juga seorang psikolog sosial, John Dewey mengatakan bahwa perilaku kita tidak sekedar muncul berdasarkan pengalaman masa lampau, tetapi juga secara terus menerus berubah atau diubah oleh lingkungan – “situasi kita” – termasuk tentunya orang lain.
Berbagai alternatif yang berkembang dari kedua pendekatan tersebut kemudian memunculkan berbagai perspektif dalam psikologi sosial – seperangkat asumsi dasar tentang hal paling penting yang bisa dipertimbangkan sebagai sesuatu yang bisa digunakan untuk memahami perilaku sosial. Ada empat perspektif, yaitu : perilaku (behavioral perspectives) , kognitif (cognitive perspectives), stuktural (structural perspectives), dan interaksionis (interactionist perspectives).
Perspektif perilaku dan kognitif lebih banyak digunakan oleh para psikolog sosial yang berakar pada psikologi. Mereka sering menawarkan jawaban yang berbeda atas sebuah
Perspektif perilaku menekankan, bahwa untuk dapat lebih memahami perilaku seseorang, seyogianya kita mengabaikan informasi tentang apa yang dipikirkan oleh seseorang. Lebih baik kita memfokuskan pada perilaku seseorang yang dapat diuji oleh pengamatan kita sendiri. Dengan mempertimbangkan proses mental seseorang, kita tidak terbantu memahami perilaku orang tersebut, karena seringkali proses mental tidak reliabel untuk memprediksi perilaku. Misalnya tidak semua orang yang berpikiran negatif tentang sesuatu, akan juga berperilaku negatif. Orang yang bersikap negatif terhadap bangsa A misalnya, belum tentu dia tidak mau melakukan hubungan dengan bangsa A tersebut. Intinya pikiran, perasaan, sikap (proses mental) bukan sesuatu yang bisa menjelaskan perilaku seseorang.
Sebaliknya, perspektif kognitif menekankan pada pandangan bahwa kita tidak bisa memahami perilaku seseorang tanpa mempelajari proses mental mereka. Manusia tidak menanggapi lingkungannya secara otomatis. Perilaku mereka tergantung pada bagaimana mereka berpikir dan mempersepsi lingkungannya. Jadi untuk memperoleh informasi yang bisa dipercaya maka proses mental seseorang merupakan hal utama yang bisa menjelaskan perilaku sosial seseorang.
Perspektif struktural dan interaksionis lebih sering digunakan oleh para psikolog sosial yang berasal dari disiplin sosiologi. Pertanyaan yang umumnya diajukan adalah : ” Sejauhmana kegiatan-kegiatan individual membentuk interaksi sosial ?”. Perspektif struktural menekankan bahwa perilaku seseorang dapat dimengerti dengan sangat baik jika diketahui peran sosialnya. Hal ini terjadi karena perilaku seseorang merupakan reaksi terhadap harapan orang-orang lain. Seorang mahasiswa rajin belajar, karena masyarakat mengharapkan agar yang namanya mahasiswa senantiasa rajin belajar. Seorang ayah rajin bekerja mencari nafkah guna menghidupi keluarganya. Mengapa ? Karena masyarakat mengharapkan dia berperilaku seperti itu, jika tidak maka dia tidak pantas disebut sebagai “seorang ayah”. Perspektif interaksionis lebih menekankan bahwa manusia merupakan agen yang aktif dalam menetapkan perilakunya sendiri, dan mereka yang membangun harapan-harapan sosial. Manusia bernegosiasi satu sama lainnya untuk membentuk interaksi dan harapannya. Untuk lebih jelas, di bawah ini diuraikan satu persatu keempat prespektif dalam psikologi sosial.

a.      Perspektif Perilaku (Behavioral Perspective)

Pendekatan ini awalnya diperkenalkan oleh John B. Watson (1941, 1919). Pendekatan ini cukup banyak mendapat perhatian dalam psikologi di antara tahun 1920-an s/d 1960-an. Ketika Watson memulai penelitiannya, dia menyarankan agar pendekatannya ini tidak sekedar satu alternatif bagi pendekatan instinktif dalam memahami perilaku sosial, tetapi juga merupakan alternatif lain yang memfokuskan pada pikiran, kesadaran, atau pun imajinasi. Watson menolak informasi instinktif semacam itu, yang menurutnya bersifat
“mistik”, “mentalistik”, dan “subyektif”. Dalam psikologi obyektif maka fokusnya harus pada sesuatu yang “dapat diamati” (observable), yaitu pada “apa yang dikatakan (sayings) dan apa yang dilakukan (doings)”. Dalam hal ini pandangan Watson berbeda dengan James dan Dewey, karena keduanya percaya bahwa proses mental dan juga perilaku yang teramati berperan dalam menyelaskan perilaku sosial.
Para “behaviorist” memasukan perilaku ke dalam satu unit yang dinamakan “tanggapan” (responses), dan lingkungan ke dalam unit “rangsangan” (stimuli). Menurut penganut paham perilaku, satu rangsangan dan tanggapan tertentu bisa berasosiasi satu sama lainnya, dan menghasilkan satu bentuk hubungan fungsional. Contohnya, sebuah rangsangan ” seorang teman datang “, lalu memunculkan tanggapan misalnya, “tersen-yum”. Jadi seseorang tersenyum, karena ada teman yang datang kepadanya. Para behavioris tadi percaya bahwa rangsangan dan tanggapan dapat dihubungkan tanpa mengacu pada pertimbangan mental yang ada dalam diri seseorang. Jadi tidak terlalu mengejutkan jika para behaviorisme tersebut dikategorikan sebagai pihak yang menggunakan pendekatan “kotak hitam (black-box)” . Rangsangan masuk ke sebuah kotak (box) dan menghasilkan tanggapan. Mekanisme di dalam kotak hitam tadi – srtuktur internal atau proses mental yang mengolah rangsangan dan tanggapan – karena tidak dapat dilihat secara langsung (not directly observable), bukanlah bidang kajian para behavioris tradisional.
Kemudian, B.F. Skinner (1953,1957,1974) membantu mengubah fokus behaviorisme melalui percobaan yang dinamakan “operant behavior” dan “reinforcement“. Yang dimaksud dengan “operant condition” adalah setiap perilaku yang beroperasi dalam suatu lingkungan dengan cara tertentu, lalu memunculkan akibat atau perubahan dalam lingkungan tersebut. Misalnya, jika kita tersenyum kepada orang lain yang kita hadapi, lalu secara umum, akan menghasilkan senyuman yang datangnya dari orang lain tersebut. Dalam kasus ini, tersenyum kepada orang lain tersebut merupakan “operant behavior“. Yang dimaksud dengan “reinforcement” adalah proses di mana akibat atau perubahan yang terjadi dalam lingkungan memperkuat perilaku tertentu di masa datang . Misalnya, jika kapan saja kita selalu tersenyum kepada orang asing (yang belum kita kenal sebelumnya), dan mereka tersenyum kembali kepada kita, maka muncul kemungkinan bahwa jika di kemudian hari kita bertemu orang asing maka kita akan tersenyum. Perlu diketahui, reinforcement atau penguat, bisa bersifat positif dan negatif. Contoh di atas merupakan penguat positif. Contoh penguat negatif, misalnya beberapa kali pada saat kita bertemu dengan orang asing lalu kita tersenyum dan orang asing tersebut diam saja atau bahkan menunjukan rasa tidak suka, maka dikemudian hari jika kita bertemu orang asing kembali, kita cenderung tidak tersenyum (diam saja).
Dalam pendekatan perilaku terdapat teori-teori yang mencoba menjelaskan cara lebih mendalam mengapa fenomena sosial yang diutarakan dalam pendekatan erilaku bisa terjadi. Beberapa teori antara lain adalah Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory) dan Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory).

·         Teori Pembelajaran Sosial

Di tahun 1941, dua orang psikolog – Neil Miller dan John Dollard – dalam laporan hasil percobaannya mengatakan bahwa peniruan (imitation) di antara manusia tidak disebabkan oleh unsur instink atau program biologis. Penelitian kedua orang tersebut mengindikasikan bahwa kita belajar (learn) meniru perilaku orang lain. Artinya peniruan tersebut merupakan hasil dari satu proses belajar, bukan bisa begitu saja karena instink. Proses belajar tersebut oleh Miller dan Dollard dinamakan “social learning ” – “pembelajaran sosial”. Perilaku peniruan (imitative behavior) kita terjadi karena kita merasa telah memperoleh imbalan ketika kita meniru perilaku orang lain, dan memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya. Agar seseorang bisa belajar mengikuti aturan baku yang telah ditetapkan oleh masyarakat maka “para individu harus dilatih, dalam berbagai situasi, sehingga mereka merasa nyaman ketika melakukan apa yang orang lain lakukan, dan merasa tidak nyaman ketika tidak melakukannya.”, demikian saran yang dikemukakan oleh Miller dan Dollard.
Dalam penelitiannya, Miller dan Dollard menunjukan bahwa anak-anak dapat belajar meniru atau tidak meniru seseorang dalam upaya memperoleh imbalan berupa permen. Dalam percobaannya tersebut, juga dapat diketahui bahwa anak-anak dapat membedakan orang-orang yang akan ditirunya. Misalnya jika orang tersebut laki-laki maka akan ditirunya, jika perempuan tidak. Lebih jauh lagi, sekali perilaku peniruan terpelajari (learned), hasil belajar ini kadang berlaku umum untuk rangsangan yang sama. Misalnya, anak-anak cenderung lebih suka meniru orang-orang yang mirip dengan orang yang sebelumnya memberikan imbalan. Jadi, kita mempelajari banyak perilaku “baru” melalui pengulangan perilaku orang lain yang kita lihat. Kita contoh perilaku orang-orang lain tertentu, karena kita mendapatkan imbalan atas peniruan tersebut dari orang-orang lain tertentu tadi dan juga dari mereka yang mirip dengan orang-orang lain tertentu tadi, di masa lampau.
Dua puluh tahun berikutnya, Albert Bandura dan Richard Walters (1959, 1963), mengusulkan satu perbaikan atas gagasan Miller dan Dollard tentang belajar melalui peniruan. Bandura dan Walters menyarankan bahwa kita belajar banyak perilaku melalui peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang kita terima. Kita bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model, dan akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut. Proses belajar semacam ini disebut “observational learning” – pembelajaran melalui pengamatan. Contohnya, percobaan Bandura dan Walters mengindikasikan bahwa ternyata anak-anak bisa mempunyai perilaku agresif hanya dengan mengamati perilaku agresif sesosok model, misalnya melalui film atau bahkan film karton.
Bandura (1971), kemudian menyarankan agar teori pembelajaran sosial seyogianya diperbaiki lebih jauh lagi. Dia mengatakan bahwa teori pembelajaran sosial yang benar-benar melulu menggunakan pendekatan perilaku dan lalu mengabaikan pertimbangan proses mental, perlu dipikirkan ulang. Menurut versi Bandura, maka teori pembelajaran sosial membahas tentang (1) bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan melalui penguat (reinforcement) dan observational learning, (2) cara pandang dan cara pikir yang kita miliki terhadap informasi, (3) begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku kita mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement) dan observational opportunity – kemungkinan bisa diamati oleh orang lain.

·         Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory)

Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain adalah psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961), Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964). Berdasarkan teori ini, kita masuk ke dalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita memperoleh imbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan bagi kita. Seperti halnya teori pembelajaran sosial, teori pertukaran sosial pun melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui adanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan – hanya akan langgeng manakala kalau semua pihak yang terlibat merasa teruntungkan. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan.
Berdasarkan keyakinan tersebut Homans dalam bukunya “Elementary Forms of Social Behavior, 1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah satunya berbunyi :”Semua tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu memperoleh imbalan, makin cenderung orang tersebut menampilkan tindakan tertentu tadi “. Proposisi ini secara eksplisit menjelaskan bahwa satu tindakan tertentu akan berulang dilakukan jika ada imbalannya. Proposisi lain yang juga memperkuat proposisi tersebut berbunyi : “Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin besar pula kemungkinan perbuatan tersebut diulanginya kembali”. Bagi Homans, prinsip dasar pertukaran sosial adalah “distributive justice” – aturan yang mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan dengan prinsip tersebut berbunyi ” seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan pengorbanan yang telah dikeluarkannya – makin tingghi pengorbanan, makin tinggi imbalannya – dan keuntungan yang diterima oleh setiap pihak harus sebanding dengan investasinya – makin tinggi investasi, makin tinggi keuntungan”.
Inti dari teori pembelajaran sosial dan pertukaran sosial adalah perilaku sosial seseorang hanya bisa dijelaskan oleh sesuatu yang bisa diamati, bukan oleh proses mentalistik (black-box). Semua teori yang dipengaruhi oleh perspektif ini menekankan hubungan langsung antara perilaku yang teramati dengan lingkungan.

b.      Perspektif Kognitif (The Cognitive Perspective)

Kita telah memberikan indikasi bahwa kebiasaan (habit) merupakan penjelasan alternatif yang bisa digunakan untuk memahami perilaku sosial seseorang di samping instink (instinct). Namun beberapa analis sosial percaya bahwa kalau hanya kedua hal tersebut (kebiasaan dan instink) yang dijadikan dasar, maka dipandang terlampau ekstrem – karena mengabaikan kegiatan mental manusia.
Seorang psikolog James Baldwin (1897) menyatakan bahwa paling sedikit ada dua bentuk peniruan, satu didasarkan pada kebiasaan kita dan yang lainnya didasarkan pada wawasan kita atas diri kita sendiri dan atas orang lain yang perilakunya kita tiru. Walau dengan konsep yang berbeda seorang sosiolog Charles Cooley (1902) sepaham dengan pandangan Baldwin. Keduanya memfokuskan perhatian mereka kepada perilaku sosial yang melibatkan proses mental atau kognitif .
Kemudian banyak para psikolog sosial menggunakan konsep sikap (attitude) untuk memahami proses mental atau kognitif tadi. Dua orang sosiolog W.I. Thomas dan Florian Znaniecki mendefinisikan psikologi sosial sebagai studi tentang sikap, yang diartikannya sebagai proses mental individu yang menentukan tanggapan aktual dan potensial individu dalam dunia sosial”. Sikap merupakan predisposisi perilaku. Beberapa teori yang melandasi perpektif ini antara lain adalah Teori Medan (Field Theory), Teori Atribusi dan Konsistensi Sikap (Concistency Attitude and Attribution Theory), dan Teori Kognisi Kontemporer.

·         Teori Medan (Field Theory)

Seorang psikolog, Kurt Lewin (1935,1936) mengkaji perilaku sosial melalui pendekatan konsep “medan”/”field” atau “ruang kehidupan” – life space. Untuk memahami konsep ini perlu dipahami bahwa secara tradisional para psikolog memfokuskan pada keyakinan bahwa karakter individual (instink dan kebiasaan), bebas – lepas dari pengaruh situasi di mana individu melakukan aktivitas. Namun Lewin kurang sepaham dengan keyakinan tersebut. Menurutnya penjelasan tentang perilaku yang tidak memperhitungkan faktor situasi, tidaklah lengkap. Dia merasa bahwa semua peristiwa psikologis apakah itu berupa tindakan, pikiran, impian, harapan, atau apapun, kesemuanya itu merupakan fungsi dari “ruang kehidupan”- individu dan lingkungan dipandang sebagai sebuah konstelasi yang saling tergantung satu sama lainnya. Artinya “ruang kehidupan” merupakan juga merupakan determinan bagi tindakan, impian, harapan, pikiran seseorang. Lewin memaknakan “ruang kehidupan” sebagai seluruh peristiwa (masa lampau, sekarang, masa datang) yang berpengaruh pada perilaku dalam satu situasi terten
Bagi Lewin, pemahaman atas perilaku seseorang senantiasa harus dikaitkan dengan konteks – lingkungan di mana perilaku tertentu ditampilkan. Intinya, teori medan berupaya menguraikan bagaimana situasi yang ada (field) di sekeliling individu bepengaruh pada perilakunya. Sesungguhnya teori medan mirip dengan konsep “gestalt” dalam psikologi yang memandang bahwa eksistensi bagian-bagian atau unsur-unsur tidak bisa terlepas satu sama lainnya. Misalnya, kalau kita melihat bangunan, kita tidak melihat batu bata, semen, kusen, kaca, secara satu persatu. Demikian pula kalau kita mempelajari perilaku individu, kita tidak bisa melihat individu itu sendiri, lepas dari konteks di mana individu tersebut berada.

·         Teori Atribusi dan Konsistensi Sikap ( Attitude Consistency and Attribution Theory)

Fritz Heider (1946, 1958), seorang psikolog bangsa Jerman mengatakan bahwa kita cenderung mengorganisasikan sikap kita, sehingga tidak menimbulkan konflik. Contohnya, jika kita setuju pada hak seseorang untuk melakukan aborsi, seperti juga orang-orang lain, maka sikap kita tersebut konsisten atau seimbang (balance). Namun jika kita setuju aborsi tetapi ternyata teman-teman dekat kita dan juga orang-orang di sekeliling kita tidak setuju pada aborsi maka kita dalam kondisi tidak seimbang (imbalance). Akibatnya kita merasa tertekan (stress), kurang nyaman, dan kemudian kita akan mencoba mengubah sikap kita, menyesuaikan dengan orang-orang di sekitar kita, misalnya dengan bersikap bahwa kita sekarang tidak sepenuhnya setuju pada aborsi. Melalui pengubahan sikap tersebut, kita menjadi lebih nyaman. Intinya sikap kita senantiasa kita sesuaikan dengan sikap orang lain agar terjadi keseimbangan karena dalam situasi itu, kita menjadi lebih nyaman.
Heider juga menyatakan bahwa kita mengorganisir pikiran-pikiran kita dalam kerangka “sebab dan akibat”. Agar supaya bisa meneruskan kegiatan kita dan mencocokannya dengan orang-orang di sekitar kita, kita mentafsirkan informasi untuk memutuskan penyebab perilaku kita dan orang lain. Heider memperkenalkan konsep “causal attribution” – proses penjelasan tentang penyebab suatu perilaku. Mengapa Tono pindah ke kota lain ?, Mengapa Ari keluar dari sekolah ?. Kita bisa menjelaskan perilaku sosial dari Tono dan Ari jika kita mengetahui penyebabnya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bedakan dua jenis penyebab, yaitu internal dan eksternal. Penyebab internal (internal causality) merupakan atribut yang melekat pada sifat dan kualitas pribadi atau personal, dan penyebab external (external causality) terdapat dalam lingkungan atau situasi.

·         Teori Kognitif Kontemporer

Dalam tahun 1980-an, konsep kognisi, sebagian besarnya mewarnai konsep sikap. Istilah “kognisi” digunakan untuk menunjukan adanya proses mental dalam diri seseorang sebelum melakukan tindakan. Teori kognisi kontemporer memandang manusia sebagai agen yang secara aktif menerima, menggunakan, memanipulasi, dan mengalihkan informasi. Kita secara aktif berpikir, membuat rencana, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan. Manusia memproses informasi dengan cara tertentu melalui struktur kognitif yang diberi istilah “schema” (Markus dan Zajonc, 1985 ; Morgan dan Schwalbe, 1990; Fiske and Taylor, 1991). Struktur tersebut berperan sebagai kerangka yang dapat menginterpretasikan pengalaman-pengalaman sosial yang kita miliki. Jadi struktur kognisi bisa membantu kita mencapai keterpaduan dengan lingkungan, dan membantu kita untuk menyusun realitas sosial. Sistem ingatan yang kita miliki diasumsikan terdiri atas struktur pengetahuan yang tak terhitung jumlahnya.
Intinya, teori-teori kognitif memusatkan pada bagaiamana kita memproses informasi yang datangnya dari lingkungan ke dalam struktur mental kita Teori-teori kognitif percaya bahwa kita tidak bisa memahami perilaku sosial tanpa memperoleh informasi tentang proses mental yang bisa dipercaya, karena informasi tentang hal yang obyektif, lingkungan eksternal belum mencukupi.

c.       Perspektif Struktural

Telah kita catat bahwa telah terjadi perdebatan di antara para ilmuwan sosial dalam hal menjelaskan perilaku sosial seseorang. Untuk menjelaskan perilaku sosial seseorang dapat dikaji sebagai sesuatu proses yang (1) instinktif, (2) karena kebiasaan, dan (3) juga yang bersumber dari proses mental. Mereka semua tertarik, dan dengan cara sebaik mungkin lalu menguraikan hubungan antara masyarakat dengan individu. William James dan John Dewey menekankan pada penjelasan kebiasaan individual, tetapi mereka juga mencatat bahwa kebiasaan individu mencerminkan kebiasaan kelompok – yaitu adat-istiadat masyarakat – atau strutur sosial . Para sosiolog yakin bahwa struktur sosial terdiri atas jalinan interaksi antar manusia dengan cara yang relatif stabil. Kita mewarisi struktur sosial dalam satu pola perilaku yang diturunkan oleh satu generasi ke generasi berikutnya, melalui proses sosialisasi. Disebabkan oleh struktur sosial, kita mengalami kehidupan sosial yang telah terpolakan. James menguraikan pentingnya dampak struktur sosial atas “diri” (self) – perasaan kita terhadap diri kita sendiri. Masyarakat mempengaruhi diri – self.
Sosiolog lain Robert Park dari Universitas Chicago memandang bahwa masyarakat mengorganisasikan, mengintegrasikan, dan mengarahkan kekuatan-kekuatan individu- individu ke dalam berbagai macam peran (roles). Melalui peran inilah kita menjadi tahu siapa diri kita. Kita adalah seorang anak, orang tua, guru, mahasiswa, laki-laki, perempuan, Islam, Kristen. Konsep kita tentang diri kita tergantung pada peran yang kita lakukan dalam masyarakat. Beberapa teori yang melandasi persektif strukturan adalah Teori Peran (Role Theory), Teori Pernyataan – Harapan (Expectation-States Theory), dan Posmodernisme (Postmodernism)

·         Teori Peran (Role Theory)

Walau Park menjelaskan dampak masyarakat atas perilaku kita dalam hubungannya dengan peran, namun jauh sebelumnya Robert Linton (1936), seorang antropolog, telah mengembangkan. Teori Peran. Teori Peran menggambarkan interaksi sosial dalam terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh budaya.
Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini, seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai dokter, mahasiswa, orang tua, wanita, dan lain sebagainya, diharapkan agar seseorang tadi berperilaku sesuai dengan peran tersebut. Mengapa seseorang mengobati orang lain, karena dia adalah seorang dokter. Jadi karena statusnya adalah dokter maka dia harus mengobati pasien yang datang kepadanya. Perilaku ditentukan oleh peran sosial
Kemudian, sosiolog yang bernama Glen Elder (1975) membantu memperluas penggunaan teori peran. Pendekatannya yang dinamakan “life-course” memaknakan bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada setiap anggotanya untuk mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Contohnya, sebagian besar warga Amerika Serikat akan menjadi murid sekolah ketika berusia empat atau lima tahun, menjadi peserta pemilu pada usia delapan belas tahun, bekerja pada usia tujuh belah tahun, mempunyai istri/suami pada usia dua puluh tujuh, pensiun pada usia enam puluh tahun. Di Indonesia berbeda. Usia sekolah dimulai sejak tujuh tahun, punya pasangan hidup sudah bisa usia tujuh belas tahun, pensiun usia lima puluh lima tahun. Urutan tadi dinamakan “tahapan usia” (age grading). Dalam masyarakat kontemporer kehidupan kita dibagi ke dalam masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, dan masa tua, di mana setiap masa mempunyai bermacam-macam pembagian lagi.

·         Teori Pernyataan Harapan (Expectation-States Theory)

Teori ini diperkenalkan oleh Joseph Berger dan rekan-rekannya di Universitas Stanford pada tahun 1972. Jika pada teori peran lebih mengkaji pada skala makro, yaitu peran yang ditetapkan oleh masyarakat, maka pada teori ini berfokus pada kelompok kerja yang lebih kecil lagi. Menurut teori ini, anggota-anggota kelompok membentuk harapan-harapan atas dirinya sendiri dan diri anggota lain, sesuai dengan tugas-tugas yang relevan dengan kemampuan mereka, dan harapan-harapan tersebut mempengaruhi gaya interaksi di antara anggota-anggota kelompok tadi. Sudah tentu atribut yang paling berpengaruh terhadap munculnya kinerja yang diharapkan adalah yang berkaitan dengan ketrampilan kerjanya. Anggota-anggota kelompok dituntut memiliki motivasi dan ketrampilan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas kelompok yang diharapkan bisa ditampilkan sebaik mungkin.
Bagaimanapun juga, kita sering kekurangan informasi tentang kemampuan yang berkaitan dengan tugas yang relevan, dan bahkan ketika kita memiliki informasi, yang muncul adalah bahwa kita juga harus mendasarkan harapan kita pada atribut pribadi dan kelompok seperti : jenis kelamin, ras, dan usia. Dalam beberapa masyarakat tertentu, beberapa atribut pribadi dinilai lebih penting daripada atribut lainnya. Untuk menjadi pemimpin, jenis kelamin kadang lebih diprioritaskan ketimbang kemampuan. Di Indonesia, untuk menjadi presiden, ras merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi. Berger menyebut gejala tersebut sebagai “difusi karakteristik status”; karakteristik status mempengaruhi harapan kelompok kerja. Status laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan dalam soal menjadi pemimpin, warganegara pribumi asli lebih diberi tempat menduduki jabatan presiden. Difusi karakteristik status tersebut ( jenis kelamin, ras, usia, dan lainnya) dengan demikian, mempunyai pengaruh yang kuat terhadap interaksi sosial.

·         Posmodernisme (Postmodernism)

Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan perilaku sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat kontemporer. Beberapa psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada dasarnya teori posmodernisme atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya – kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri. (Denzin, 1986; Murphy, 1989; Dowd, 1991; Gergen, 1991) . Dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan..
Berdasarkan pandangan posmodernisme, erosi gradual individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan – nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya.
Setelah Perang Dunia II, manusia makin dipandang sebagai konsumen dan juga sebagai produsen. Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra komersial yang mampu mengurangi keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup. Manusia lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi oleh seberapa besar kemampuannya mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “ pilihan kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat kita dalam struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja Indonesia terhadap musik “rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali oleh musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya. Gemar musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak menyukai musik “rap”, dia bukan remaja. Perilaku seseorang ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di sekelilingnya , bukan oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya lenyap. Itulah manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”.
Intinya, teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme memberikan ilustrasi perspektif struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan masyarakat mempengaruhi perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini, struktur sosial – pola interaksi yang sedang terjadi dalam masyarakat – sebagian besarnya pembentuk dan sekaligus juga penghambat perilaku individual. Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang pasif dalam menentukan perilakunya. Individu bertindak karena ada kekuatan struktur sosial yang menekannya.

d.      Perspektif Interaksionis (Interactionist Perspective)

Seorang sosiolog yang bernama George Herbert Mead (1934) yang mengajar psiokologi sosial pada departemen filsafat Universitas Chicago, mengembangkan teori ini. Mead percaya bahwa keanggotaan kita dalam suatu kelompok sosial menghasilkan perilaku bersama yang kita kenal dengan nama budaya. Dalam waktu yang bersamaan, dia juga mengakui bahwa individu-individu yang memegang posisi berbeda dalam suatu kelompok, mempunyai peran yang berbeda pula, sehingga memunculkan perilaku yang juga berbeda. Misalnya, perilaku pemimpin berbeda dengan pengikutnya. Dalam kasus ini, Mead tampak juga seorang strukturis. Namun dia juga menentang pandangan bahwa perilaku kita melulu dipengaruhi oleh lingkungan sosial atau struktur sosial. Sebaliknya Mead percaya bahwa kita sebagai bagian dari lingkungan sosial tersebut juga telah membantu menciptakan lingkungan tersebut. Lebih jauh lagi, dia memberi catatan bahwa walau kita sadar akan adanya sikap bersama dalam suatu kelompok/masyarakat, namun hal tersebut tidaklah berarti bahwa kita senantiasa berkompromi dengannya.
Mead juga tidak setuju pada pandangan yang mengatakan bahwa untuk bisa memahami perilaku sosial, maka yang harus dikaji adalah hanya aspek eksternal (perilaku yang teramati) saja. Dia menyarankan agar aspek internal (mental) sama pentingnya dengan aspek eksternal untuk dipelajari. Karena dia tertarik pada aspek internal dan eksternal atas dua atau lebih individu yang berinteraksi, maka dia menyebut aliran perilakunya dengan nama “social behaviorism”. Dalam perspektif interaksionis ada beberapa teori yang layak untuk dibahas yaitu Teori Interaksi Simbolis (Symbolic Interaction Theory), dan Teori Identitas (Identity Theory).

·         Teori Interaksi Simbolis (Symbolic Interaction Theory)

Walau Mead menyarankan agar aspek internal juga dikaji untuk bisa memahami perilaku sosial, namun hal tersebut bukanlah merupakan minat khususnya. Justru dia lebih tertarik pada interaksi, di mana hubungan di antara gerak-isyarat (gesture) tertentu dan maknanya, mempengaruhi pikiran pihak-pihak yang sedang berinteraksi. Dalam terminologi Mead, gerak-isyarat yang maknanya diberi bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam interaksi adalah merupakan “satu bentuk simbol yang mempunyai arti penting” ( a significant symbol”). Kata-kata dan suara-lainnya, gerakan-gerakan fisik, bahasa tubuh (body langguage), baju, status, kesemuanya merupakan simbol yang bermakna.
Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, di mana dua atau lebih individu berpotensi mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang dikeluarkan orang lain, demikian pula perilaku orang lain tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, kita mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan orang lain, kita menangkap pikiran, perasaan orang lain tersebut. Teori ini mirip dengan teori pertukaran sosial.
Interaksi di antara beberapa pihak tersebut akan tetap berjalan lancar tanpa gangguan apa pun manakala simbol yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak dimaknakan bersama sehingga semua pihak mampu mengartikannya dengan baik. Hal ini mungkin terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam interaksi tersebut berasal dari budaya yang sama, atau sebelumnya telah berhasil memecahkan perbedaan makna di antara mereka. Namun tidak selamanya interaksi berjalan mulus. Ada pihak-pihak tertentu yang menggunakan simbol yang tidak signifikan – simbol yang tidak bermakna bagi pihak lain. Akibatnya orang-orang tersebut harus secara terus menerus mencocokan makna dan merencanakan cara tindakan mereka.
Banyak kualitas perilaku manusia yang belum pasti dan senantiasa berkembang : orang-orang membuat peta, menguji, merencanakan, menunda, dan memperbaiki tindakan-tindakan mereka, dalam upaya menanggapi tindakan-tindakan pihak lain. Sesuai dengan pandangan ini, individu-individu menegosiasikan perilakunya agar cocok dengan perilaku orang lain.

·         Teori Identitas (Identity Theory)

Teori Indentitas dikemukakan oleh Sheldon Stryker (1980). Teori ini memusatkan perhatiannya pada hubungan saling mempengaruhi di antara individu dengan struktur sosial yang lebih besar lagi (masyarakat). Individu dan masyarakat dipandang sebagai dua sisi dari satu mata uang. Seseorang dibentuk oleh interaksi, namun struktur sosial membentuk interaksi. Dalam hal ini Stryker tampaknya setuju dengan perspektif struktural, khususnya teori peran. Namun dia juga memberi sedikit kritik terhadap teori peran yang menurutnya terlampau tidak peka terhadap kreativitas individu.
Teori Stryker mengkombinasikan konsep peran (dari teori peran) dan konsep diri/self (dari teori interaksi simbolis). Bagi setiap peran yang kita tampilkan dalam berinteraksi dengan orang lain, kita mempunyai definisi tentang diri kita sendiri yang berbeda dengan diri orang lain, yang oleh Stryker dinamakan “identitas”. Jika kita memiliki banyak peran, maka kita memiliki banyak identitas. Perilaku kita dalam suatu bentuk interaksi, dipengaruhi oleh harapan peran dan identitas diri kita, begitu juga perilaku pihak yang berinteraksi dengan kita.
Intinya, teori interaksi simbolis dan identitas mendudukan individu sebagai pihak yang aktif dalam menetapkan perilakunya dan membangun harapan-harapan sosial. Perspektif iteraksionis tidak menyangkal adanya pengaruh struktur sosial, namun jika hanya struktur sosial saja yang dilihat untuk menjelaskan perilaku sosial, maka hal tersebut kurang memadai.

·         Teori Interpretif

Teori interpretif umumnya menyadari bahwa makna dapat berarti lebih dari apa yang dijelaskan oleh pelaku. Jadi interpretasi adalah suatu tindakan kreatif dalam mengungkap kemungkinan-kemungkinan makna. Implikasi social kritis pada dasarnya memiliki implikasi ekonomi dan politik, tetapi banyak diantaranya yang berkaitan dengan komunikasi dan tatanan komunikasi dalam masyarakat. Meskipun demikian teoritisi kritis biasanya enggan memisahkan komunikasi dan elemen lainnya dari keseluruhan system. Jadi, suatu teori kritis mengenai komunikasi perlu melibatkan kritik mengenai masyarakat secara keseluruhan.

Pendekatan kelompok ini terutama sekali popular di Negara-negara Eropa.Karakteristik umum yang mencirikan teori ini adalah:
ü  Penekanan terhadap peran subjektifitas yang didasarkan pada pengalaman individual.
ü  Makna merupakan konsep kunci dalam teori-teori ini. Pengalaman dipandang sebagai meaning centered.
ü  Bahasa dipandang sebagai kekuatan yang mengemudikan pengalaman manusia.

Di samping karakteristik di atas yang menunjukan kesamaan, terdapat juga perbedaan mendasar antara teori-teori interpretif dan teori-teori kritis dalam pendekatannya. Pendekatan teori interpretif cenderung menghndarkan sifat-sifat preskriptif dan keputusan-keputusan absolute tentang fenomena yang diamati. Pengamatan menurut teori interpretif, hanyalah sesuatu yang bersifat tentative dan relative. Sementara teori-teori kritis lazimnya cenderung menggunakan keputusan-keputusan absolut, preskriptif dan juga politis sifatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa teori interpretif ditujukan untuk memahami pengalaman hidup manusia, atau untuk menginterpretasikan makna-makna teks. Sedangkan teori kritis berkaitan dengan cara-cara di mana kondisi manusia mengalami kendala dan berusaha menciptakan berbagai metode untuk memperbaiki kehidupan manusia.

·         Teori Kritis

Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.
Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di Amerika).
Teori Kritis menjadi disputasi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt – paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina – paradigma neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman. Habermas adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis.
Pada awalnya, yang membedakan Teori Kritis dengan filsafat Heidegger atau filsafat analitika Ludwig Wittgenstein adalah Teori Kritis menjadi inspirasi dari gerakan sosial kemasyarakatan. Gerakan sosial ini dipelopori oleh kaum muda yang pada waktu itu secara historis telah tidak ingat lagi dengan masa kelaparan dan kedinginan pasca perang dunia II. Generasi muda tahun 1960-an telah merasa muak dengan kebudayaan yang menekankan pembangunan fisik dan menekankan faktor kesejahteraan ala kapitalisme. Generasi ini adalah generasi yang secara mendalam meragukan atau menyangsikan kekenyangan kapitalisme dan disorientasi nilai modern.
Yang merupakan ciri khas Teori Kritis adalah bahwa teori ini berbeda dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Pendekatan Teori Kritis tidak bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Teori Kritis pada titik tertentu memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, sebagai teori yang menjadi emansipatoris. Teori Kritis tidak hanya mau menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial tapi juga bahwa teori tersebut mau mengubah. Pada dasarnya, Teori Kritis mau menjadi praktis.
Teori Kritis tidak mau membebek Karl Marx. Kelemahan marxisme pada umumnya adalah mereka menjiplak analisa Marx dan menerapkannya mentah-mentah pada masyarakat modern. Oleh sebab itu, biasanya marxisme justru lebih terkesan dogmatis daripada ilmiah. Teori Kritis mengadakan analisa baru terhadap masyarakat yang dipahami sebagai “masyarakat kapitalis lanjut”. Yang direkonseptualisasi dalam pemikiran Teori Kritis adalah maksud dasar teori Karl Marx, yaitu pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan.
Pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan berangkat dari konsep kritik. Konsep kritik sendiri yang diambil oleh Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat.