A.
Konsep
Konsep Komunikasi
Menurut
pendapat Effendy (2000:13) ” Komunikasi adalah proses penyampaian pikiran atau
perasaan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang-lambang
yang bermakna bagi kedua pihak, dalam situasi yang tertentu komunikasi
menggunakan media tertentu untuk merubah sikap atau tingkah laku seorang atau
sejumlah orang sehingga ada efek tertentu yang diharapkan. Menurut Handoko
(2002:30) ” Komunikasi adalah proses pemindahan pengertian dalam bentuk
gagasan, informasi dari seseorang ke orang lain ”. Robbins (2002:310)
mengemukakan ” Tidak ada kelmpok yang dapat eksis tanpa komunikasi :
pentransferan makna diantara anggota-anggotanya. Hnaya lewat pentransferan
makna dari satu orang ke orang lain informasi dan gagasan dapat dihantarkan.
Tetapi komunikasi itu lebih dari sekedar menanamkan makna tetapi juga harus
dipahami ”. ( Jurnal Manajemen, 09 Desember 2007 )
Puskesmas
sebagai suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang berada digaris
terdepan dibidang kesehatan masyarakat, juga tidak luput dari pentingnya
komunikasi. Pimpinan Puskesmas selaku pimpinan bertanggung jawab lansung
terhadap berfungsinya komunikasi secara kondusif antara dirinya selaku
komunikator dengan para staf administrasi selaku komunikan, “ yang menjadi
persoalan sebenarnya bukan apakah manajer berkomunikasi atau tidak, karena
komunikasi merupakan bagian dari fungsi organisasi. Persoalan sebebenarnya
adalah apakah manajer dapat berkomunikasi dengan baik atau tidak. Dengan kata
lain, komunikasi sendiri tidak dapat dielakkan dalam setiap fungsi organisasi ;
tetapi komunikasi itu mungkin tidak efektif. Setiap manajer harus menjadi
seorang komunikator “. (Gibson, Ivancevich, Donelly , 1994 : 105).
Selanjutnya
menurut Permata Wulandari (2007) mengatakan bahwa ” peran pimpinan dalam
peningkatan komunikasi pada sebauah organisasi membutuhkan tiga hal : pertama,
semua pemaian harus memeiliki kemampuan yang tepat dan mengerti komunikasi yang
baik. Komunikasi bukanlah proses yang indah dan banyak orang membutuhkan
pengertian yang mendalam mengenai issue komunikasi. Kedua, komunikasi
organisasi yang efektif membutuhkan iklim atau budaya yang mendukung komunikasi
yang efektif. Lebih spesifik iklim ini akan membutuhkan kejujuran, keterbukaan,
praktik komunikasiyang baik dan tanggung jawab untuk membuat komunikasi lebih
efektif. Ketiga, komunikasi yang efektif membutuhkan perhatian. Hal ini
bukanlah sesuatu yang lansung terjadi tetapi dikembangkan sebagai hasil usaha
staf dan jajaran manajemen ”. Oleh Karena itu pimpinan Puskesmas dan para staf
administrasi harus tahu betul tentang konsep komunikasi itu sendiri agar
nantinya didalam menjalankan aktivitas organisasinya dapat terlaksana dengan
baik sesuai dengan yang diharapkan, “ secara umum komunikasi dapat disebut
sebagai proses pengiriman dan penerimaan pesan atau berita (informasi) antara
dua orang atau lebih dengan cara yang efektif, sehingga pesan dimaksud dapat
dipahami “. Atep Adya Barata ( 2003:54).
Menurut
Miftah Thoha (1990:163) “ komunikasi adalah suatu proses penyampaian dan
penerimaan berita atau informasi dari seseorang keorang lain. Suatu komunikasi
yang tepat tidak bakal terjadi, kalau tidak penyampai berita tadi menyampaikan
secara patut dan penerima berita menerimanya tidak dalam bentuk distorsi “.
Selanjutnya
menurut I.B. Mantra (1990:2) mengemukakan pengertian komunikasi sebagai
berikut:
Istilah
komunikasi berasal dari kata Latin “Communicare” atau “ Communis” yang berarti
menjadikan milik bersama. Kalau kita berkomunikasi dengan orang lain, berarti
kita berusaha agar apa yang kita samapaikan kepada orang lain tersebut juga
menjadi miliknya. Artinya, agar mengerti ide, informasi atau pengalaman orang
lin tersebut (Menurut Wilbur Schramm).
Komunikasi adalah kegiatan pengoperan lambing yang mengandung arti/makna yang perlu dipahami bersama oleh pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kegiatan komunikasi (Menurut William Albig).
Komunikasi merupakan suatu proses dimana yang terlibat, menciptakan dan berbagi informasi satu sama lain untuk mencapai saling pengertian ( Everett M. Rogers).
Komunikasi adalah kegiatan pengoperan lambing yang mengandung arti/makna yang perlu dipahami bersama oleh pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kegiatan komunikasi (Menurut William Albig).
Komunikasi merupakan suatu proses dimana yang terlibat, menciptakan dan berbagi informasi satu sama lain untuk mencapai saling pengertian ( Everett M. Rogers).
Bersesuaian
pendapat-pendapat di atas Arni Muhammad (2005: 4-5) mengemukakan bahwa :
Komunikasi
adalah pertukaran pesan verbal maupun nonverbal antara si pengirim dengan di
penerima pesan untuk mengubah tingkah laku. Si pengirim pesan dapat berupa
seorang individu, kelompok, atau organisasi. Begitu juga halnya denga si
penerima pesan dapat berupa seorang anggota organisasi, seorang kepala bagian,
pimpinan, kelompok orang dalam organisasi, atau orgnisasi secara keseluruhan.
Istilah proses maksudnya bahwa komunikasi itu berlansung melalui tahap-tahap
tertentu secara terus menerus, berubah-ubah, dan tidak henti-hentinya. Proses
komunikasi merupakan proses yang timbal balik karean antara si pengirim dan si
penerima saling mempengaruhi satu sama lain. Perubahan tingkah laku maksudnya
dalam pengertian yang luas yaitu perubahan yang terjadi didalam diri individu
mungkin dalam aspek kogniti, afektif atau psikomotor.
Dari
beberapa pendapat yang telah dikemukakan diatas jelaslah bahwa pesan yang
disampaikan oleh pimpinan selaku komunikator kepada para staf selaku komunikan
tidak lain tujuannya adalah sebagai upaya untuk merubah pemikiran, sikap dan
prilaku para staf agar mau melakukan pekerjaan organisasi sebagaimana mestinya
melalui komunikasi yang diciptakan oleh pimpinan.
B.
Definisi Komunikasi
Bermacam-macam
definisi komunikasi yang dikemukakan orang untukk memberikan batasan terhadap
apa yang dimaksud dengan komunikasi, sesuai dari sudut mana mereka
memandangnya. Tentu saja masing-masing definisi tersebut ada benarnya dan tidak
salah karena disesuaikan dengan bidang dan tujuan mereka masing-masing. Berikut
ini disajikan beberapa dari definisi tersebut untuk melihat keanekaragaman yang
berguna untuk menarik pengertian yang umum dari komunikasi.
1.
Everett M. Rogers, Komunikasi
adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau
lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.
2.
Rogers & D. Lawrence
Kincaid, 1981, Komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih
membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang
pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam.
3.
Shannon & Weaver, 1949,
Komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling pengaruh mempengaruhi
satu sama lainnya, sengaja atau tidak sengaja. Tidak terbatas pada bentuk
komunikasi menggunakan bahasa verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka,
lukisan, seni, dan teknologi.
4.
David K. Berlo, 1965 Ilmu
pengantar komunikasi Komunikasi sebagai instrumen dari interaksi sosial berguna
untuk mengetahui dan memprediksi setiap orang lain, juga untuk mengetahui
keberadaan diri sendiri dalam memciptakan keseimbangan dengan masyarakat.
5.
Harorl D. Lasswell, 1960.
Komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan siapa,
mengatakan apa, dengan saluran apa, kepada siapa? Dengan akibat apa atau hasil
apa? (Who? Says what? In which channel? To whom? With what effect?)
6.
Steven, Komunikasi Juga dapat
terjadi kapan saja suatu organisme memberi reaksi terhadap suatu objek atau
stimuli. Apakah itu berasal dari seseorang atau lingkungan sekitarnya.
7.
Raymond S. Ross, Komunikasi
adalah suatu proses menyortir, memilih dan mengirimkan simbol-simbol sedemikian
rupa sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respons dari
pikirannya yang serupa dengan yang dimaksudkan komunikator.
8.
Menurut Prof. Dr. Alo
Liliweri, Komunikasi adalah pengalihan suatu pesan dari satu sumber kepada
penerima agar dapat dipahami.
9.
Menurut John R. Wenburg dan
William W Wilmot, Komunikasi adalah suatu usaha untuk memperoleh makna.
10. Menurut Carl I.Hovland, komunikasi adalah proses yang
memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan rangsangan untuk mengubah
perilaku orang lain.
11. Judy C pearson & Paul E melson, Komunikasi adalah
Proses memahami dan berbagi makna.
12. Stewart L. Tubbs & Sylvia Moss, Komunikasi adalah
proses makna diantara dua orang atau lebih.
13. Menurut William I. Gordon, Komunikasi secara ringkas dapat
didefinisikan sebagai suatu transaksi dinamis yang melibatkan gagasan dan
perasaan.
14. Menurut M. Djenamar. SH, Komunikasi adalah seni untuk menyampaikan
informasi, ide-ide, seseorang kepada orang lain.
15. Menurut William Albig, komunikasi adalah proses pengoperan
lambang yang berarti diantara individu-individu.
16. Menurut Prof. Dr. Alo Liliweri, Komunikasi adalah
pengalihan suatu pesan dari satu sumber kepada penerima agar dapat dipahami.
17. Menurut Anwar arifin (1988:17), komunikasi merupakan suatu
konsep yang multi makna. Makna komunikasi dapat dibedakan berdasarkan
Komunikasi sebagai proses sosial Komunikasi pada makna ini ada dalam konteks
ilmu sosial. Dimana para ahli ilmu sosial melakukan penelitian dengan
menggunakan pendekatan komunikasi yang secara umum menfokuskan pada kegiatan
manusia dan kaitan pesan dengan perilaku.
18. Markman, 1981 : Murphy & Mendelson. 1973 : Komunikasi
merupakan suatu komunikaso untuk membangun & mempertahankan hubungan
interpersonal.
19. Aristoteles (ruben, 2002:21) komunikasi adalah alat dimana
warga masyarakat dapatberpartisipasi dalam demokrasi
20. Drs. Redi Panuju, Msi (2001:1) Komunikasi merupakan sistem
aliran yang menghubungkan dan kinerja antar bagian dalam organisasi sehingga
menghasilkan suatu sinergi.
21. Hoben , Simbol/verbal/ujaran, komunikasi adalah pertukaran
pikiran atau gagasan secara verbal.
22. Anderson, Komunikasi merupakan proses yang dinamis dan
secara konstan berubah sesuai dengan situasi yang berlaku.
23. Barnlund, 1964, Komunikasi timbul didorong oleh
kebutuhan-kebutuhan untuk mengurangi rasa ketidakpastian, bertindak secara
efektif, mempertahankan atau memperkuat ego.
24. Menurut lexicographer (ahli kamus bahasa), komunikasi
adalah upaya yang bertujuan berbagi untuk mencapai kebersamaan. Jika dua orang
berkomunikasi maka pemahaman yang sama terhadap pesan yang saling dipertukarkan
adalah tujuan yang diinginkan oleh keduanya.
25. Webster’s New Collegiate Dictionary edisi tahun 1977 antara
lain menjelaskan bahwa komunikasi adalah suatu proses pertukaran informasi
diantara individu melalui sistem lambang-lambang, tanda-tanda atau tingkah
laku.
26. Komunikasi adalah suatu proses melalui mana seseorang
(komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya dalam bentuk kata-kata) dengan
tujuan mengubah atau membentuk perilaku orang-orang lainnya (khalayak).
Hovland, Janis & Kelley:1953
27. Komunikasi adalah suatu proses yang membuat sesuatu dari
yang semula dimiliki oleh seseorang (monopoli seseorang) menjadi dimiliki oleh
dua orang atau lebih. Gode, 1959
28. Komunikasi adalah suatu proses yang menghubungkan satu
bagian dengan bagian lainnya dalam kehidupan. Ruesch, 1957
29. Komunikasi adalah seluruh prosedur melalui mana pikiran
seseorang dapat mempengaruhi pikiran orang lainnya. Weaver, 1949
30. Achmad S. Ruky, Sukses sebagai manajer Profesional tanpa
gelar MM atau MBA - Komunikasi adalah proses pemindahan dan pertukaran pesan
yang dapat berbentuk fakta, gagasan, perasaan, data atau informasi dari
seseorang kpd org lain, utk mempengaruhi dan/atau mengubah informasi dan
tingkah laku orang yang menerima pesan.
31. Atep Aditya Barata, dasar-dasar pelayanan prima adalah
poses pengiriman dan penerimaan pesan atau berita (informasi) antara 2 orang
atau lebih dengan cara yang efektif, sehingga pesan yang dimaksud dapat
dipahami.
32. DRS. Agus M. Hardjana, M.Sc., ED KOMUNIKASI INTERPERSONAL
DAN INTRAPERSONAL, Komunikasi dapat dirumuskan sebagai kegiatan dimana
seseorang menyampaikan pesan dari media tertentu kepada orang lain dan sesudah
menerima pesan serta memahami sejauh kemampuan, penerimaan pesan menyampaikan
tanggapan melalui media tertyentu pula kepada orang yang menyampaukan pesan itu
kepadanya.
33. Sindu mulianto, Panduan Lengkap supervisi Perspektif
Syariah Komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh pengirim kepada
penerima pesan melalui cara dan media tertentu.
34. Wuryanano, Super Mind for Successful Life, Komunikasi
adalah melibatkan keseluruhan pribadi anda, cara berbicara, sikap anda, tingkah
laku anda, dan segala sesuatu yag terpancar dari pribadi anda.
35. Definisi Hovland, Janis dan Kelley
Hovland, Janis dan Kalley seperti yang dikemukakan oleh Forsdale (1981) adalah sosiologi Amerika, mengatakan bahwa, “communication is the process by which an individual transmits stimuli (usually verbal) to modify the behavior of other individuals”. Dengan kata-kata lain komunikasi adalah proses individu mengirim stimulus yang biasanya dalam bentuk verbal untuk mengubah tingkah laku orang lain. Pada definisi ini, mereka menganggap komunikasi sebagai suatu proses, bukan sebagai suatu hal.
Hovland, Janis dan Kalley seperti yang dikemukakan oleh Forsdale (1981) adalah sosiologi Amerika, mengatakan bahwa, “communication is the process by which an individual transmits stimuli (usually verbal) to modify the behavior of other individuals”. Dengan kata-kata lain komunikasi adalah proses individu mengirim stimulus yang biasanya dalam bentuk verbal untuk mengubah tingkah laku orang lain. Pada definisi ini, mereka menganggap komunikasi sebagai suatu proses, bukan sebagai suatu hal.
36. Definisi Forsdale
Menurut Louis Forsdale (1981), ahli komunikasi dan pendidikan, “communication is the process by which a system is estabilished, maintained and altered by means of shared signals that operate according to rules”. Komunikasi adalah suatu proses memberikan signal menurut aturan tertentu, sehingga dengan cara ini suatu system dapat didirikan, dipelihara dan diubah. Pada definisi ini komunikasi juga dipandang sebagai suatu proses. Kata signal maksudnya adalah signal yang berupa verbal dan nonverbal yang mempunyai aturan tertentu. Dengan adanya aturan ini menjadikan orang yang menerima signal yang telah mengetahui aturannya akan dapat memahami maksud dari signal yang diterimanya. Misalnya setiap bahasa mempunyai aturan tertentu baik bahasa lisan, bahasa tulisan maupun bahasa isyarat. Bila orang yang mengirim signal menggunakan bahasa yang sama dengan orang yang menerima, maka si penerima akan dapat memahami maksud dari aignal tersebut, tetapi kalau tidak mungkin dia tidak dapat memahami maksudnya.
Menurut Louis Forsdale (1981), ahli komunikasi dan pendidikan, “communication is the process by which a system is estabilished, maintained and altered by means of shared signals that operate according to rules”. Komunikasi adalah suatu proses memberikan signal menurut aturan tertentu, sehingga dengan cara ini suatu system dapat didirikan, dipelihara dan diubah. Pada definisi ini komunikasi juga dipandang sebagai suatu proses. Kata signal maksudnya adalah signal yang berupa verbal dan nonverbal yang mempunyai aturan tertentu. Dengan adanya aturan ini menjadikan orang yang menerima signal yang telah mengetahui aturannya akan dapat memahami maksud dari signal yang diterimanya. Misalnya setiap bahasa mempunyai aturan tertentu baik bahasa lisan, bahasa tulisan maupun bahasa isyarat. Bila orang yang mengirim signal menggunakan bahasa yang sama dengan orang yang menerima, maka si penerima akan dapat memahami maksud dari aignal tersebut, tetapi kalau tidak mungkin dia tidak dapat memahami maksudnya.
37. Definisi Brent D. Rubben
Brent D. Rubben memberikan definisi mengenai komunikasi manusia yang lebih komprehensif sebagai berikut : Komunikasi manusia adalah suatu proses melalui mana individu dalam hubungannya, dalam kelompok, dalam organisasi dan dalam masyarakat menciptakan, mengirimkan, dan menggunakan informasi untuk mengkoordinasi lingkungannya dan orang lain.
Pada definisi inipun komunikasi juga dikatakan sebagai suatu proses yaitu suatu aktivitas yang mempunyai beberapa tahap yang terpisah satu sama lain tetapi berhubungan. Misalnya kalau kita ingin berpidato di depan umum, sebelum berpidato tersebut kita telah melakukan serentetan sub-aktivitas seperti membuat perencanaan, menentukan tema pidato, mengumpulkan bahan, melatih diri di rumah, baru kemudian tampil berpidato di depan umum.
Istilah pemakaian informasi menunujuk kepada peranan informasi dalam mempengaruhi tingkah laku manusia baik secara individual, kelompok, maupun masyarakat. Jadi jelas bahwa tujuan komunikasi menurut Ruben ini adalah untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain.
Brent D. Rubben memberikan definisi mengenai komunikasi manusia yang lebih komprehensif sebagai berikut : Komunikasi manusia adalah suatu proses melalui mana individu dalam hubungannya, dalam kelompok, dalam organisasi dan dalam masyarakat menciptakan, mengirimkan, dan menggunakan informasi untuk mengkoordinasi lingkungannya dan orang lain.
Pada definisi inipun komunikasi juga dikatakan sebagai suatu proses yaitu suatu aktivitas yang mempunyai beberapa tahap yang terpisah satu sama lain tetapi berhubungan. Misalnya kalau kita ingin berpidato di depan umum, sebelum berpidato tersebut kita telah melakukan serentetan sub-aktivitas seperti membuat perencanaan, menentukan tema pidato, mengumpulkan bahan, melatih diri di rumah, baru kemudian tampil berpidato di depan umum.
Istilah pemakaian informasi menunujuk kepada peranan informasi dalam mempengaruhi tingkah laku manusia baik secara individual, kelompok, maupun masyarakat. Jadi jelas bahwa tujuan komunikasi menurut Ruben ini adalah untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain.
38. Definisi William J. Seller
Seiler (1998) memberikan definisi komunikasi lebih bersifat universal. Dia mengatakan komunikasi adalah proses dengan mana symbol verbal dan nonverbal dikirimkan, diterima, dan diberi arti.
Kelihatannya dari definisi ini proses komunikasi sangat sederhana, yaitu mengirim dan menerima pesan, tetapi sesungguhnya komunikasi adalah suatu fenomena yang kompleks yang sulit dipahami tanpa mengetahui prinsip dan komponen yang penting dari komunikasi tersebut.
Seiler (1998) memberikan definisi komunikasi lebih bersifat universal. Dia mengatakan komunikasi adalah proses dengan mana symbol verbal dan nonverbal dikirimkan, diterima, dan diberi arti.
Kelihatannya dari definisi ini proses komunikasi sangat sederhana, yaitu mengirim dan menerima pesan, tetapi sesungguhnya komunikasi adalah suatu fenomena yang kompleks yang sulit dipahami tanpa mengetahui prinsip dan komponen yang penting dari komunikasi tersebut.
39.
Definisi yang Dipakai Dalam
Buku Ini
Berdasarkan prinsip umum dari definisi di atas dan berdasarkan bahwa pengertian komunikasi ini akan digunakan untuk memahami komunikasi organisasi, maka penulis berusaha menyusun definisi sendiri sebagai berikut : komunikasi adalah pertukaran pesan verbal maupun nonverbal antara si pengirim dengan si penerima pesan untuk mengubah tingkah laku.
Si pengirim pesan dapat berupa seorang individu, kelompok atau organisasi. Begitu juga halnya dengan si penerima pesan dapat berupa seorang anggota organisasi, seorang kepala bagian,pimpinan, kelompok orang dalam organisasi, atau organisasi secara keseluruhan.
Berdasarkan prinsip umum dari definisi di atas dan berdasarkan bahwa pengertian komunikasi ini akan digunakan untuk memahami komunikasi organisasi, maka penulis berusaha menyusun definisi sendiri sebagai berikut : komunikasi adalah pertukaran pesan verbal maupun nonverbal antara si pengirim dengan si penerima pesan untuk mengubah tingkah laku.
Si pengirim pesan dapat berupa seorang individu, kelompok atau organisasi. Begitu juga halnya dengan si penerima pesan dapat berupa seorang anggota organisasi, seorang kepala bagian,pimpinan, kelompok orang dalam organisasi, atau organisasi secara keseluruhan.
C. Perspektif dalam
Komunikasi
Teori-teori awal yang dianggap mampu menjelaskan perilaku
seseorang, difokuskan pada dua kemungkinan (1) perilaku diperoleh dari
keturunan dalam bentuk instink-instink biologis – lalu dikenal dengan
penjelasan “nature” – dan (2) perilaku bukan diturunkan melainkan
diperoleh dari hasil pengalaman selama kehidupan mereka – dikenal dengan
penjelasan “nurture”. Penjelasan “nature” dirumuskan oleh ilmuwan
Inggris Charles Darwin pada abad kesembilan belas di mana dalam teorinya
dikemukakan bahwa semua perilaku manusia merupakan serangkaian instink yang
diperlukan agar bisa bertahan hidup. Mc Dougal sebagai seorang psikolog
cenderung percaya bahwa seluruh perilaku sosial manusia didasarkan pada
pandangan ini (instinktif).
Namun banyak analis sosial yang tidak percaya bahwa instink
merupakan sumber perilaku sosial. Misalnya William James, seorang psikolog
percaya bahwa walau instink merupakan hal yang mempengaruhi perilaku sosial,
namun penjelasan utama cenderung ke arah kebiasaan – yaitu pola perilaku
yang diperoleh melalui pengulangan sepanjang kehidupan seseorang. Hal ini
memunculkan “nurture explanation”. Tokoh lain yang juga seorang psikolog
sosial, John Dewey mengatakan bahwa perilaku kita tidak sekedar muncul berdasarkan
pengalaman masa lampau, tetapi juga secara terus menerus berubah atau diubah
oleh lingkungan – “situasi kita” – termasuk tentunya orang lain.
Berbagai alternatif yang berkembang dari kedua pendekatan
tersebut kemudian memunculkan berbagai perspektif dalam psikologi sosial –
seperangkat asumsi dasar tentang hal paling penting yang bisa dipertimbangkan
sebagai sesuatu yang bisa digunakan untuk memahami perilaku sosial. Ada empat
perspektif, yaitu : perilaku
(behavioral perspectives) , kognitif (cognitive perspectives),
stuktural (structural perspectives), dan interaksionis (interactionist
perspectives).
Perspektif perilaku dan kognitif lebih banyak digunakan oleh
para psikolog sosial yang berakar pada psikologi. Mereka sering menawarkan
jawaban yang berbeda atas sebuah
Perspektif perilaku menekankan, bahwa untuk dapat lebih
memahami perilaku seseorang, seyogianya kita mengabaikan informasi tentang apa
yang dipikirkan oleh seseorang. Lebih baik kita memfokuskan pada perilaku
seseorang yang dapat diuji oleh pengamatan kita sendiri. Dengan
mempertimbangkan proses mental seseorang, kita tidak terbantu memahami perilaku
orang tersebut, karena seringkali proses mental tidak reliabel untuk
memprediksi perilaku. Misalnya tidak semua orang yang berpikiran negatif
tentang sesuatu, akan juga berperilaku negatif. Orang yang bersikap negatif
terhadap bangsa A misalnya, belum tentu dia tidak mau melakukan hubungan dengan
bangsa A tersebut. Intinya pikiran, perasaan, sikap (proses mental) bukan
sesuatu yang bisa menjelaskan perilaku seseorang.
Sebaliknya, perspektif kognitif menekankan pada pandangan
bahwa kita tidak bisa memahami perilaku seseorang tanpa mempelajari proses
mental mereka. Manusia tidak menanggapi lingkungannya secara otomatis. Perilaku
mereka tergantung pada bagaimana mereka berpikir dan mempersepsi lingkungannya.
Jadi untuk memperoleh informasi yang bisa dipercaya maka proses mental
seseorang merupakan hal utama yang bisa menjelaskan perilaku sosial seseorang.
Perspektif struktural dan interaksionis lebih sering
digunakan oleh para psikolog sosial yang berasal dari disiplin sosiologi.
Pertanyaan yang umumnya diajukan adalah : ” Sejauhmana kegiatan-kegiatan
individual membentuk interaksi sosial ?”. Perspektif struktural menekankan
bahwa perilaku seseorang dapat dimengerti dengan sangat baik jika diketahui
peran sosialnya. Hal ini terjadi karena perilaku seseorang merupakan reaksi
terhadap harapan orang-orang lain. Seorang mahasiswa rajin belajar, karena
masyarakat mengharapkan agar yang namanya mahasiswa senantiasa rajin belajar.
Seorang ayah rajin bekerja mencari nafkah guna menghidupi keluarganya. Mengapa
? Karena masyarakat mengharapkan dia berperilaku seperti itu, jika tidak maka
dia tidak pantas disebut sebagai “seorang ayah”. Perspektif interaksionis lebih
menekankan bahwa manusia merupakan agen yang aktif dalam menetapkan perilakunya
sendiri, dan mereka yang membangun harapan-harapan sosial. Manusia bernegosiasi
satu sama lainnya untuk membentuk interaksi dan harapannya. Untuk lebih jelas,
di bawah ini diuraikan satu persatu keempat prespektif dalam psikologi sosial.
a.
Perspektif
Perilaku (Behavioral Perspective)
Pendekatan ini awalnya diperkenalkan oleh John B. Watson
(1941, 1919). Pendekatan ini cukup banyak mendapat perhatian dalam psikologi di
antara tahun 1920-an s/d 1960-an. Ketika Watson memulai penelitiannya, dia
menyarankan agar pendekatannya ini tidak sekedar satu alternatif bagi
pendekatan instinktif dalam memahami perilaku sosial, tetapi juga merupakan
alternatif lain yang memfokuskan pada pikiran, kesadaran, atau pun imajinasi.
Watson menolak informasi instinktif semacam itu, yang menurutnya bersifat
“mistik”, “mentalistik”, dan “subyektif”. Dalam psikologi
obyektif maka fokusnya harus pada sesuatu yang “dapat diamati” (observable),
yaitu pada “apa yang dikatakan (sayings) dan apa yang dilakukan (doings)”.
Dalam hal ini pandangan Watson berbeda dengan James dan Dewey, karena keduanya
percaya bahwa proses mental dan
juga perilaku yang teramati berperan dalam menyelaskan perilaku sosial.
Para “behaviorist” memasukan perilaku ke dalam satu unit yang dinamakan “tanggapan” (responses),
dan lingkungan ke dalam unit
“rangsangan” (stimuli). Menurut penganut paham perilaku, satu rangsangan
dan tanggapan tertentu bisa berasosiasi satu sama lainnya, dan menghasilkan
satu bentuk hubungan fungsional. Contohnya, sebuah rangsangan ” seorang teman
datang “, lalu memunculkan tanggapan misalnya, “tersen-yum”. Jadi seseorang
tersenyum, karena ada teman yang datang kepadanya. Para behavioris tadi percaya
bahwa rangsangan dan tanggapan dapat dihubungkan tanpa mengacu pada
pertimbangan mental yang ada dalam diri seseorang. Jadi tidak terlalu
mengejutkan jika para behaviorisme tersebut dikategorikan sebagai pihak yang
menggunakan pendekatan “kotak hitam (black-box)” . Rangsangan masuk ke
sebuah kotak (box) dan menghasilkan tanggapan. Mekanisme di dalam kotak
hitam tadi – srtuktur internal atau proses mental yang mengolah rangsangan dan
tanggapan – karena tidak dapat dilihat secara langsung (not directly
observable), bukanlah bidang kajian para behavioris tradisional.
Kemudian, B.F. Skinner (1953,1957,1974) membantu mengubah
fokus behaviorisme melalui percobaan yang dinamakan “operant behavior”
dan “reinforcement“. Yang dimaksud dengan “operant condition”
adalah setiap perilaku yang beroperasi dalam suatu lingkungan dengan cara
tertentu, lalu memunculkan akibat atau perubahan dalam lingkungan tersebut.
Misalnya, jika kita tersenyum kepada orang lain yang kita hadapi, lalu secara
umum, akan menghasilkan senyuman yang datangnya dari orang lain tersebut. Dalam
kasus ini, tersenyum kepada orang lain tersebut merupakan “operant behavior“.
Yang dimaksud dengan “reinforcement” adalah proses di mana akibat atau
perubahan yang terjadi dalam lingkungan memperkuat
perilaku tertentu di masa datang . Misalnya, jika kapan saja kita selalu
tersenyum kepada orang asing (yang belum kita kenal sebelumnya), dan mereka
tersenyum kembali kepada kita, maka muncul kemungkinan bahwa jika di kemudian
hari kita bertemu orang asing maka kita akan tersenyum. Perlu diketahui,
reinforcement atau penguat, bisa bersifat positif dan negatif. Contoh di atas
merupakan penguat positif. Contoh penguat negatif, misalnya beberapa kali pada
saat kita bertemu dengan orang asing lalu kita tersenyum dan orang asing
tersebut diam saja atau bahkan menunjukan rasa tidak suka, maka dikemudian hari
jika kita bertemu orang asing kembali, kita cenderung tidak tersenyum (diam
saja).
Dalam pendekatan perilaku terdapat teori-teori yang mencoba
menjelaskan cara lebih mendalam mengapa fenomena sosial yang diutarakan dalam
pendekatan erilaku bisa terjadi. Beberapa teori antara lain adalah Teori
Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory) dan Teori Pertukaran Sosial
(Social Exchange Theory).
·
Teori
Pembelajaran Sosial
Di tahun 1941, dua orang psikolog – Neil Miller dan John
Dollard – dalam laporan hasil percobaannya mengatakan bahwa peniruan (imitation)
di antara manusia tidak disebabkan oleh unsur instink atau program biologis.
Penelitian kedua orang tersebut mengindikasikan bahwa kita belajar (learn)
meniru perilaku orang lain. Artinya peniruan tersebut merupakan hasil dari satu
proses belajar, bukan bisa begitu saja karena instink. Proses belajar
tersebut oleh Miller dan Dollard dinamakan “social learning ” –
“pembelajaran sosial”. Perilaku peniruan (imitative behavior) kita
terjadi karena kita merasa telah memperoleh imbalan ketika kita meniru perilaku
orang lain, dan memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya. Agar seseorang
bisa belajar mengikuti aturan baku yang telah ditetapkan oleh masyarakat maka
“para individu harus dilatih, dalam berbagai situasi, sehingga mereka merasa
nyaman ketika melakukan apa yang orang lain lakukan, dan merasa tidak nyaman ketika
tidak melakukannya.”, demikian saran yang dikemukakan oleh Miller dan Dollard.
Dalam penelitiannya, Miller dan Dollard menunjukan bahwa
anak-anak dapat belajar meniru atau tidak meniru seseorang dalam upaya
memperoleh imbalan berupa permen. Dalam percobaannya tersebut, juga dapat
diketahui bahwa anak-anak dapat membedakan orang-orang yang akan ditirunya.
Misalnya jika orang tersebut laki-laki maka akan ditirunya, jika perempuan
tidak. Lebih jauh lagi, sekali perilaku peniruan terpelajari (learned),
hasil belajar ini kadang berlaku umum untuk rangsangan yang sama. Misalnya,
anak-anak cenderung lebih suka meniru orang-orang yang mirip dengan orang yang
sebelumnya memberikan imbalan. Jadi, kita mempelajari banyak perilaku “baru”
melalui pengulangan perilaku orang lain yang kita lihat. Kita contoh perilaku
orang-orang lain tertentu, karena kita mendapatkan imbalan atas peniruan
tersebut dari orang-orang lain tertentu tadi dan juga dari mereka yang mirip
dengan orang-orang lain tertentu tadi, di masa lampau.
Dua puluh tahun berikutnya, Albert Bandura dan Richard
Walters (1959, 1963), mengusulkan satu perbaikan atas gagasan Miller dan
Dollard tentang belajar melalui peniruan. Bandura dan Walters menyarankan bahwa
kita belajar banyak perilaku melalui peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang kita
terima. Kita bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap
perilaku model, dan akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut. Proses
belajar semacam ini disebut “observational learning” – pembelajaran
melalui pengamatan. Contohnya, percobaan Bandura dan Walters mengindikasikan
bahwa ternyata anak-anak bisa mempunyai perilaku agresif hanya dengan mengamati
perilaku agresif sesosok model, misalnya melalui film atau bahkan film karton.
Bandura (1971), kemudian menyarankan agar teori pembelajaran
sosial seyogianya diperbaiki lebih jauh lagi. Dia mengatakan bahwa teori
pembelajaran sosial yang benar-benar melulu menggunakan pendekatan perilaku dan
lalu mengabaikan pertimbangan proses mental, perlu dipikirkan ulang. Menurut
versi Bandura, maka teori pembelajaran sosial membahas tentang (1) bagaimana
perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan melalui penguat (reinforcement)
dan observational learning, (2) cara pandang dan cara pikir yang kita
miliki terhadap informasi, (3) begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku kita
mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement) dan
observational opportunity – kemungkinan bisa diamati oleh orang lain.
·
Teori
Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory)
Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial
antara lain adalah psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog
George Homans (1961), Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964).
Berdasarkan teori ini, kita masuk ke dalam hubungan pertukaran dengan orang
lain karena dari padanya kita memperoleh imbalan. Dengan kata lain hubungan
pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan bagi kita. Seperti
halnya teori pembelajaran sosial, teori pertukaran sosial pun melihat antara
perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal).
Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan
orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi
Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost)
dan keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh
melalui adanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan,
dan keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial
terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan
untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan,
perkawinan, persahabatan – hanya akan langgeng manakala kalau semua pihak yang
terlibat merasa teruntungkan. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena
berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula
sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan.
Berdasarkan keyakinan tersebut Homans dalam bukunya “Elementary
Forms of Social Behavior, 1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah
satunya berbunyi :”Semua tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin
sering satu bentuk tindakan tertentu memperoleh imbalan, makin cenderung orang tersebut menampilkan tindakan
tertentu tadi “. Proposisi ini secara eksplisit menjelaskan bahwa satu
tindakan tertentu akan berulang dilakukan jika ada imbalannya. Proposisi lain yang juga memperkuat proposisi tersebut
berbunyi : “Makin tinggi nilai hasil
suatu perbuatan bagi seseorang, makin besar pula kemungkinan perbuatan tersebut
diulanginya kembali”. Bagi Homans, prinsip dasar pertukaran sosial adalah “distributive
justice” – aturan yang mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding
dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan dengan prinsip tersebut
berbunyi ” seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang lain akan
mengharapkan imbalan yang
diterima oleh setiap pihak sebanding
dengan pengorbanan yang telah
dikeluarkannya – makin tingghi pengorbanan, makin tinggi imbalannya – dan keuntungan yang diterima oleh setiap
pihak harus sebanding dengan investasinya – makin tinggi investasi,
makin tinggi keuntungan”.
Inti dari teori pembelajaran sosial dan pertukaran sosial
adalah perilaku sosial seseorang hanya bisa dijelaskan oleh sesuatu yang bisa
diamati, bukan oleh proses mentalistik (black-box). Semua teori yang
dipengaruhi oleh perspektif ini menekankan hubungan langsung antara perilaku
yang teramati dengan lingkungan.
b.
Perspektif
Kognitif (The Cognitive Perspective)
Kita telah memberikan indikasi bahwa kebiasaan (habit)
merupakan penjelasan alternatif yang bisa digunakan untuk memahami perilaku
sosial seseorang di samping instink (instinct). Namun beberapa analis
sosial percaya bahwa kalau hanya kedua hal tersebut (kebiasaan dan instink)
yang dijadikan dasar, maka dipandang terlampau ekstrem – karena mengabaikan
kegiatan mental manusia.
Seorang psikolog James Baldwin (1897) menyatakan bahwa
paling sedikit ada dua bentuk peniruan, satu didasarkan pada kebiasaan kita dan
yang lainnya didasarkan pada wawasan kita
atas diri kita sendiri dan atas orang lain yang perilakunya kita tiru. Walau
dengan konsep yang berbeda seorang sosiolog Charles Cooley (1902) sepaham
dengan pandangan Baldwin. Keduanya memfokuskan perhatian mereka kepada perilaku
sosial yang melibatkan proses mental atau kognitif .
Kemudian banyak para psikolog sosial menggunakan konsep sikap (attitude) untuk memahami
proses mental atau kognitif tadi. Dua orang sosiolog W.I. Thomas dan Florian
Znaniecki mendefinisikan psikologi sosial sebagai studi tentang sikap, yang
diartikannya sebagai proses mental individu yang menentukan tanggapan aktual
dan potensial individu dalam dunia sosial”. Sikap merupakan predisposisi
perilaku. Beberapa teori yang melandasi perpektif ini antara lain adalah Teori
Medan (Field Theory), Teori Atribusi dan Konsistensi Sikap (Concistency
Attitude and Attribution Theory), dan Teori Kognisi Kontemporer.
·
Teori
Medan (Field Theory)
Seorang psikolog, Kurt Lewin (1935,1936) mengkaji perilaku
sosial melalui pendekatan konsep “medan”/”field” atau “ruang kehidupan”
– life space. Untuk memahami konsep ini perlu dipahami bahwa secara
tradisional para psikolog memfokuskan pada keyakinan bahwa karakter individual
(instink dan kebiasaan), bebas – lepas dari pengaruh situasi di mana individu
melakukan aktivitas. Namun Lewin kurang sepaham dengan keyakinan tersebut.
Menurutnya penjelasan tentang perilaku yang tidak memperhitungkan faktor
situasi, tidaklah lengkap. Dia merasa bahwa semua peristiwa psikologis apakah
itu berupa tindakan, pikiran, impian, harapan, atau apapun, kesemuanya itu
merupakan fungsi dari “ruang kehidupan”- individu dan lingkungan dipandang
sebagai sebuah konstelasi yang saling tergantung satu sama lainnya. Artinya
“ruang kehidupan” merupakan juga merupakan determinan bagi tindakan, impian,
harapan, pikiran seseorang. Lewin memaknakan “ruang kehidupan” sebagai seluruh
peristiwa (masa lampau, sekarang, masa datang) yang berpengaruh pada perilaku
dalam satu situasi terten
Bagi Lewin, pemahaman atas perilaku seseorang senantiasa
harus dikaitkan dengan konteks – lingkungan di mana perilaku tertentu
ditampilkan. Intinya, teori medan berupaya menguraikan bagaimana situasi yang
ada (field) di sekeliling individu bepengaruh pada perilakunya.
Sesungguhnya teori medan mirip dengan konsep “gestalt” dalam psikologi yang
memandang bahwa eksistensi bagian-bagian atau unsur-unsur tidak bisa terlepas
satu sama lainnya. Misalnya, kalau kita melihat bangunan, kita tidak melihat
batu bata, semen, kusen, kaca, secara satu persatu. Demikian pula kalau kita
mempelajari perilaku individu, kita tidak bisa melihat individu itu sendiri,
lepas dari konteks di mana individu tersebut berada.
·
Teori
Atribusi dan Konsistensi Sikap ( Attitude Consistency and Attribution Theory)
Fritz Heider (1946, 1958), seorang psikolog bangsa Jerman
mengatakan bahwa kita cenderung mengorganisasikan sikap kita, sehingga tidak
menimbulkan konflik. Contohnya, jika kita setuju pada hak seseorang untuk
melakukan aborsi, seperti juga orang-orang lain, maka sikap kita tersebut
konsisten atau seimbang (balance). Namun jika kita setuju aborsi tetapi
ternyata teman-teman dekat kita dan juga orang-orang di sekeliling kita tidak
setuju pada aborsi maka kita dalam kondisi tidak seimbang (imbalance).
Akibatnya kita merasa tertekan (stress), kurang nyaman, dan kemudian
kita akan mencoba mengubah sikap kita, menyesuaikan dengan orang-orang di
sekitar kita, misalnya dengan bersikap bahwa kita sekarang tidak sepenuhnya
setuju pada aborsi. Melalui pengubahan sikap tersebut, kita menjadi lebih
nyaman. Intinya sikap kita senantiasa kita sesuaikan dengan sikap orang lain
agar terjadi keseimbangan karena dalam situasi itu, kita menjadi lebih nyaman.
Heider juga menyatakan bahwa kita mengorganisir pikiran-pikiran kita dalam kerangka
“sebab dan akibat”. Agar supaya bisa meneruskan kegiatan kita dan mencocokannya
dengan orang-orang di sekitar kita, kita mentafsirkan informasi untuk memutuskan
penyebab perilaku kita dan orang lain. Heider memperkenalkan konsep “causal
attribution” – proses penjelasan tentang penyebab suatu perilaku. Mengapa
Tono pindah ke kota lain ?, Mengapa Ari keluar dari sekolah ?. Kita bisa
menjelaskan perilaku sosial dari Tono dan Ari jika kita mengetahui penyebabnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita bedakan dua jenis penyebab, yaitu internal dan eksternal. Penyebab internal (internal causality) merupakan
atribut yang melekat pada sifat
dan kualitas pribadi atau personal, dan penyebab external (external
causality) terdapat dalam lingkungan atau situasi.
·
Teori
Kognitif Kontemporer
Dalam tahun 1980-an, konsep kognisi, sebagian besarnya
mewarnai konsep sikap. Istilah “kognisi” digunakan untuk menunjukan adanya
proses mental dalam diri seseorang sebelum melakukan tindakan. Teori kognisi
kontemporer memandang manusia sebagai agen yang secara aktif menerima,
menggunakan, memanipulasi, dan mengalihkan informasi. Kita secara aktif
berpikir, membuat rencana, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan. Manusia
memproses informasi dengan cara tertentu melalui struktur kognitif yang diberi
istilah “schema” (Markus dan Zajonc, 1985 ; Morgan dan Schwalbe, 1990;
Fiske and Taylor, 1991). Struktur tersebut berperan sebagai kerangka yang dapat
menginterpretasikan pengalaman-pengalaman sosial yang kita miliki. Jadi
struktur kognisi bisa membantu kita mencapai keterpaduan dengan lingkungan, dan
membantu kita untuk menyusun realitas sosial. Sistem ingatan yang kita miliki
diasumsikan terdiri atas struktur pengetahuan yang tak terhitung jumlahnya.
Intinya, teori-teori kognitif memusatkan pada bagaiamana
kita memproses informasi yang datangnya dari lingkungan ke dalam struktur
mental kita Teori-teori kognitif percaya bahwa kita tidak bisa memahami
perilaku sosial tanpa memperoleh informasi tentang proses mental yang bisa
dipercaya, karena informasi tentang hal yang obyektif, lingkungan eksternal
belum mencukupi.
c.
Perspektif
Struktural
Telah kita catat bahwa telah terjadi perdebatan di antara para
ilmuwan sosial dalam hal menjelaskan perilaku sosial seseorang. Untuk
menjelaskan perilaku sosial seseorang dapat dikaji sebagai sesuatu proses yang
(1) instinktif, (2) karena kebiasaan, dan (3) juga yang bersumber
dari proses mental. Mereka semua
tertarik, dan dengan cara sebaik mungkin lalu menguraikan hubungan antara
masyarakat dengan individu. William James dan John Dewey menekankan pada
penjelasan kebiasaan individual, tetapi mereka juga mencatat bahwa kebiasaan
individu mencerminkan kebiasaan kelompok – yaitu adat-istiadat masyarakat –
atau strutur sosial . Para sosiolog yakin bahwa struktur sosial terdiri atas
jalinan interaksi antar manusia dengan cara yang relatif stabil. Kita mewarisi
struktur sosial dalam satu pola perilaku yang diturunkan oleh satu generasi ke
generasi berikutnya, melalui proses sosialisasi. Disebabkan oleh struktur
sosial, kita mengalami kehidupan sosial yang telah terpolakan. James
menguraikan pentingnya dampak struktur sosial atas “diri” (self) –
perasaan kita terhadap diri kita sendiri. Masyarakat mempengaruhi diri – self.
Sosiolog lain Robert Park dari Universitas Chicago memandang
bahwa masyarakat mengorganisasikan, mengintegrasikan, dan mengarahkan
kekuatan-kekuatan individu- individu ke dalam berbagai macam peran (roles).
Melalui peran inilah kita menjadi tahu siapa diri kita. Kita adalah seorang
anak, orang tua, guru, mahasiswa, laki-laki, perempuan, Islam, Kristen. Konsep
kita tentang diri kita tergantung pada peran yang kita lakukan dalam masyarakat.
Beberapa teori yang melandasi persektif strukturan adalah Teori Peran (Role
Theory), Teori Pernyataan – Harapan (Expectation-States Theory), dan
Posmodernisme (Postmodernism)
·
Teori
Peran (Role Theory)
Walau Park menjelaskan dampak masyarakat atas perilaku kita
dalam hubungannya dengan peran, namun jauh sebelumnya Robert Linton (1936),
seorang antropolog, telah mengembangkan. Teori Peran. Teori Peran menggambarkan
interaksi sosial dalam terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan
apa-apa yang ditetapkan oleh budaya.
Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan
pemahaman bersama yang menuntun kita untuk berperilaku dalam kehidupan
sehari-hari. Menurut teori ini, seseorang yang mempunyai peran tertentu
misalnya sebagai dokter, mahasiswa, orang tua, wanita, dan lain sebagainya,
diharapkan agar seseorang tadi berperilaku sesuai dengan peran tersebut.
Mengapa seseorang mengobati orang lain, karena dia adalah seorang dokter. Jadi
karena statusnya adalah dokter maka dia harus mengobati pasien yang datang
kepadanya. Perilaku ditentukan oleh peran sosial
Kemudian, sosiolog yang bernama Glen Elder (1975) membantu
memperluas penggunaan teori peran. Pendekatannya yang dinamakan “life-course”
memaknakan bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada setiap anggotanya
untuk mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang
berlaku dalam masyarakat tersebut. Contohnya, sebagian besar warga Amerika
Serikat akan menjadi murid sekolah ketika berusia empat atau lima tahun,
menjadi peserta pemilu pada usia delapan belas tahun, bekerja pada usia tujuh
belah tahun, mempunyai istri/suami pada usia dua puluh tujuh, pensiun pada usia
enam puluh tahun. Di Indonesia berbeda. Usia sekolah dimulai sejak tujuh tahun,
punya pasangan hidup sudah bisa usia tujuh belas tahun, pensiun usia lima puluh
lima tahun. Urutan tadi dinamakan “tahapan usia” (age grading). Dalam
masyarakat kontemporer kehidupan kita dibagi ke dalam masa kanak-kanak, masa
remaja, masa dewasa, dan masa tua, di mana setiap masa mempunyai bermacam-macam
pembagian lagi.
·
Teori
Pernyataan Harapan (Expectation-States Theory)
Teori ini diperkenalkan oleh Joseph Berger dan
rekan-rekannya di Universitas Stanford pada tahun 1972. Jika pada teori peran
lebih mengkaji pada skala makro, yaitu peran yang ditetapkan oleh masyarakat,
maka pada teori ini berfokus pada kelompok
kerja yang lebih kecil lagi. Menurut teori ini, anggota-anggota kelompok
membentuk harapan-harapan atas dirinya sendiri dan diri anggota lain, sesuai
dengan tugas-tugas yang relevan dengan kemampuan mereka, dan harapan-harapan
tersebut mempengaruhi gaya interaksi di antara anggota-anggota kelompok tadi.
Sudah tentu atribut yang paling berpengaruh terhadap munculnya kinerja yang
diharapkan adalah yang berkaitan dengan ketrampilan kerjanya. Anggota-anggota
kelompok dituntut memiliki motivasi dan ketrampilan yang diperlukan untuk
menyelesaikan tugas-tugas kelompok yang diharapkan bisa ditampilkan sebaik
mungkin.
Bagaimanapun juga, kita sering kekurangan informasi tentang
kemampuan yang berkaitan dengan tugas yang relevan, dan bahkan ketika kita
memiliki informasi, yang muncul adalah bahwa kita juga harus mendasarkan
harapan kita pada atribut pribadi dan kelompok seperti : jenis kelamin, ras,
dan usia. Dalam beberapa masyarakat tertentu, beberapa atribut pribadi dinilai
lebih penting daripada atribut lainnya. Untuk menjadi pemimpin, jenis kelamin
kadang lebih diprioritaskan ketimbang kemampuan. Di Indonesia, untuk menjadi
presiden, ras merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi. Berger menyebut
gejala tersebut sebagai “difusi karakteristik status”; karakteristik status
mempengaruhi harapan kelompok kerja. Status laki-laki lebih tinggi dibanding
perempuan dalam soal menjadi pemimpin, warganegara pribumi asli lebih diberi
tempat menduduki jabatan presiden. Difusi karakteristik status tersebut ( jenis
kelamin, ras, usia, dan lainnya) dengan demikian, mempunyai pengaruh yang kuat
terhadap interaksi sosial.
·
Posmodernisme
(Postmodernism)
Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya
menjelaskan perilaku sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam
masyarakat kontemporer. Beberapa psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh
lagi. Pada dasarnya teori posmodernisme atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan
reaksi keras terhadap dunia modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan
bahwa dalam masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan
individualitas-nya – kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri. (Denzin,
1986; Murphy, 1989; Dowd, 1991; Gergen, 1991) . Dalam pandangan teori ini upaya
kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat,
menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita
campakkan..
Berdasarkan pandangan posmodernisme, erosi gradual
individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas.
Faktor-faktor ini mereduksi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek
nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan
manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan – nilainya (harganya)
ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya.
Setelah Perang Dunia II, manusia makin dipandang sebagai
konsumen dan juga sebagai produsen. Industri periklanan dan masmedia
menciptakan citra komersial yang mampu mengurangi
keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup. Manusia
lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi oleh seberapa besar kemampuannya
mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “ pilihan kita
sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan
seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat
kita dalam struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja
Indonesia terhadap musik “rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat
telinga mereka dijejali oleh musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD,
dan lain sebagainya. Gemar musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka
tidak menyukai musik “rap”, dia bukan remaja. Perilaku seseorang ditentukan
oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di sekelilingnya , bukan oleh dirinya
sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya lenyap. Itulah manusia modern,
demikian menurut pandangan penganut “posmo”.
Intinya, teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme
memberikan ilustrasi perspektif struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan
masyarakat mempengaruhi perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini,
struktur sosial – pola interaksi yang sedang terjadi dalam masyarakat –
sebagian besarnya pembentuk dan sekaligus juga penghambat perilaku individual.
Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang pasif dalam menentukan perilakunya. Individu bertindak karena ada
kekuatan struktur sosial yang menekannya.
d.
Perspektif
Interaksionis (Interactionist Perspective)
Seorang sosiolog yang bernama George Herbert Mead (1934)
yang mengajar psiokologi sosial pada departemen filsafat Universitas Chicago,
mengembangkan teori ini. Mead percaya bahwa keanggotaan kita dalam suatu
kelompok sosial menghasilkan perilaku bersama yang kita kenal dengan nama budaya. Dalam waktu yang bersamaan,
dia juga mengakui bahwa individu-individu yang memegang posisi berbeda dalam
suatu kelompok, mempunyai peran yang berbeda pula, sehingga memunculkan
perilaku yang juga berbeda. Misalnya, perilaku pemimpin berbeda dengan
pengikutnya. Dalam kasus ini, Mead tampak juga seorang strukturis. Namun dia
juga menentang pandangan bahwa perilaku kita melulu dipengaruhi oleh lingkungan
sosial atau struktur sosial. Sebaliknya Mead percaya bahwa kita sebagai bagian
dari lingkungan sosial tersebut juga telah membantu menciptakan lingkungan
tersebut. Lebih jauh lagi, dia memberi catatan bahwa walau kita sadar akan
adanya sikap bersama dalam suatu kelompok/masyarakat, namun hal tersebut
tidaklah berarti bahwa kita senantiasa berkompromi dengannya.
Mead juga tidak setuju pada pandangan yang mengatakan bahwa
untuk bisa memahami perilaku sosial, maka yang harus dikaji adalah hanya aspek
eksternal (perilaku yang teramati) saja. Dia menyarankan agar aspek internal
(mental) sama pentingnya dengan aspek eksternal untuk dipelajari. Karena dia
tertarik pada aspek internal dan eksternal atas dua atau lebih individu yang berinteraksi,
maka dia menyebut aliran perilakunya dengan nama “social behaviorism”.
Dalam perspektif interaksionis ada beberapa teori yang layak untuk dibahas
yaitu Teori Interaksi Simbolis (Symbolic Interaction Theory), dan Teori
Identitas (Identity Theory).
·
Teori
Interaksi Simbolis (Symbolic Interaction Theory)
Walau Mead menyarankan agar aspek internal juga dikaji untuk
bisa memahami perilaku sosial, namun hal tersebut bukanlah merupakan minat
khususnya. Justru dia lebih tertarik pada interaksi, di mana hubungan di antara
gerak-isyarat (gesture) tertentu dan maknanya, mempengaruhi pikiran
pihak-pihak yang sedang berinteraksi. Dalam terminologi Mead, gerak-isyarat
yang maknanya diberi bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam interaksi
adalah merupakan “satu bentuk simbol yang mempunyai arti penting” ( a significant symbol”).
Kata-kata dan suara-lainnya, gerakan-gerakan fisik, bahasa tubuh (body
langguage), baju, status, kesemuanya merupakan simbol yang bermakna.
Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, di mana dua atau
lebih individu berpotensi mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku seseorang
dipengaruhi oleh simbol yang dikeluarkan orang lain, demikian pula perilaku
orang lain tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, kita mengutarakan
perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang
ditampilkan orang lain, kita menangkap pikiran, perasaan orang lain tersebut.
Teori ini mirip dengan teori pertukaran sosial.
Interaksi di antara beberapa pihak tersebut akan tetap berjalan
lancar tanpa gangguan apa pun manakala simbol yang dikeluarkan oleh
masing-masing pihak dimaknakan bersama sehingga semua pihak mampu
mengartikannya dengan baik. Hal ini mungkin terjadi karena individu-individu
yang terlibat dalam interaksi tersebut berasal dari budaya yang sama, atau
sebelumnya telah berhasil memecahkan perbedaan makna di antara mereka. Namun
tidak selamanya interaksi berjalan mulus. Ada pihak-pihak tertentu yang
menggunakan simbol yang tidak signifikan – simbol yang tidak bermakna bagi
pihak lain. Akibatnya orang-orang tersebut harus secara terus menerus
mencocokan makna dan merencanakan cara tindakan mereka.
Banyak kualitas perilaku manusia yang belum pasti dan
senantiasa berkembang : orang-orang membuat peta, menguji, merencanakan,
menunda, dan memperbaiki tindakan-tindakan mereka, dalam upaya menanggapi
tindakan-tindakan pihak lain. Sesuai dengan pandangan ini, individu-individu
menegosiasikan perilakunya agar cocok dengan perilaku orang lain.
·
Teori
Identitas (Identity Theory)
Teori Indentitas dikemukakan oleh Sheldon Stryker (1980).
Teori ini memusatkan perhatiannya pada hubungan saling mempengaruhi di antara
individu dengan struktur sosial yang lebih besar lagi (masyarakat). Individu
dan masyarakat dipandang sebagai dua sisi dari satu mata uang. Seseorang
dibentuk oleh interaksi, namun struktur sosial membentuk interaksi. Dalam hal
ini Stryker tampaknya setuju dengan perspektif struktural, khususnya teori
peran. Namun dia juga memberi sedikit kritik terhadap teori peran yang menurutnya
terlampau tidak peka terhadap kreativitas individu.
Teori Stryker mengkombinasikan konsep peran (dari teori
peran) dan konsep diri/self (dari teori interaksi simbolis). Bagi setiap peran
yang kita tampilkan dalam berinteraksi dengan orang lain, kita mempunyai definisi tentang diri kita
sendiri yang berbeda dengan diri orang lain, yang oleh Stryker dinamakan
“identitas”. Jika kita memiliki banyak peran, maka kita memiliki banyak
identitas. Perilaku kita dalam suatu bentuk interaksi, dipengaruhi oleh harapan peran dan identitas diri kita, begitu juga
perilaku pihak yang berinteraksi dengan kita.
Intinya, teori interaksi simbolis dan identitas mendudukan
individu sebagai pihak yang aktif dalam menetapkan perilakunya dan membangun
harapan-harapan sosial. Perspektif iteraksionis tidak menyangkal adanya
pengaruh struktur sosial, namun jika hanya struktur sosial saja yang dilihat
untuk menjelaskan perilaku sosial, maka hal tersebut kurang memadai.
·
Teori
Interpretif
Teori interpretif umumnya menyadari bahwa makna dapat
berarti lebih dari apa yang dijelaskan oleh pelaku. Jadi interpretasi adalah
suatu tindakan kreatif dalam mengungkap kemungkinan-kemungkinan makna.
Implikasi social kritis pada dasarnya memiliki implikasi ekonomi dan politik,
tetapi banyak diantaranya yang berkaitan dengan komunikasi dan tatanan
komunikasi dalam masyarakat. Meskipun demikian teoritisi kritis biasanya enggan
memisahkan komunikasi dan elemen lainnya dari keseluruhan system. Jadi, suatu
teori kritis mengenai komunikasi perlu melibatkan kritik mengenai masyarakat
secara keseluruhan.
Pendekatan kelompok ini terutama sekali popular di Negara-negara Eropa.Karakteristik umum yang mencirikan teori ini adalah:
ü Penekanan terhadap peran
subjektifitas yang didasarkan pada pengalaman individual.
ü Makna merupakan konsep kunci dalam
teori-teori ini. Pengalaman dipandang sebagai meaning centered.
ü Bahasa dipandang sebagai kekuatan
yang mengemudikan pengalaman manusia.
Di samping karakteristik di atas yang menunjukan kesamaan,
terdapat juga perbedaan mendasar antara teori-teori interpretif dan teori-teori
kritis dalam pendekatannya. Pendekatan teori interpretif cenderung menghndarkan
sifat-sifat preskriptif dan keputusan-keputusan absolute tentang fenomena yang
diamati. Pengamatan menurut teori interpretif, hanyalah sesuatu yang bersifat
tentative dan relative. Sementara teori-teori kritis lazimnya cenderung
menggunakan keputusan-keputusan absolut, preskriptif dan juga politis sifatnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa teori interpretif ditujukan untuk memahami
pengalaman hidup manusia, atau untuk menginterpretasikan makna-makna teks.
Sedangkan teori kritis berkaitan dengan cara-cara di mana kondisi manusia
mengalami kendala dan berusaha menciptakan berbagai metode untuk memperbaiki
kehidupan manusia.
·
Teori
Kritis
Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan
sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter
Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik
masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau
mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari
manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah
bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx,
tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan
beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara
baru dan kreatif.
Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max
Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan
filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud),
Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus
sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba menggabungkan
fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan
New Left di Amerika).
Teori Kritis menjadi disputasi publik di kalangan filsafat
sosial dan sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang cukup
terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah
Frankfurt – paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina – paradigma
neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper)
dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme
dalam sosiologi Jerman. Habermas adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan
metode analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis.
Pada awalnya, yang membedakan Teori Kritis dengan filsafat
Heidegger atau filsafat analitika Ludwig Wittgenstein adalah Teori Kritis
menjadi inspirasi dari gerakan sosial kemasyarakatan. Gerakan sosial ini
dipelopori oleh kaum muda yang pada waktu itu secara historis telah tidak ingat
lagi dengan masa kelaparan dan kedinginan pasca perang dunia II. Generasi muda
tahun 1960-an telah merasa muak dengan kebudayaan yang menekankan pembangunan
fisik dan menekankan faktor kesejahteraan ala kapitalisme. Generasi ini adalah
generasi yang secara mendalam meragukan atau menyangsikan kekenyangan
kapitalisme dan disorientasi nilai modern.
Yang merupakan ciri khas Teori Kritis adalah bahwa teori ini
berbeda dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Pendekatan Teori
Kritis tidak bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Teori Kritis pada
titik tertentu memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, sebagai
teori yang menjadi emansipatoris. Teori Kritis tidak hanya mau menjelaskan,
mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial tapi juga bahwa
teori tersebut mau mengubah. Pada dasarnya, Teori Kritis mau menjadi praktis.
Teori Kritis tidak mau membebek Karl Marx. Kelemahan
marxisme pada umumnya adalah mereka menjiplak analisa Marx dan menerapkannya
mentah-mentah pada masyarakat modern. Oleh sebab itu, biasanya marxisme justru
lebih terkesan dogmatis daripada ilmiah. Teori Kritis mengadakan analisa baru
terhadap masyarakat yang dipahami sebagai “masyarakat kapitalis lanjut”. Yang
direkonseptualisasi dalam pemikiran Teori Kritis adalah maksud dasar teori Karl
Marx, yaitu pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan.
Pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan
penindasan berangkat dari konsep kritik. Konsep kritik sendiri yang diambil
oleh Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang
dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud.
Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan
menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka. Kritik dalam pengertian
Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang
menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia. Kritik dalam
pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau
keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar